Alasan Kenapa Kedudukan Ibu Lebih Utama dalam Islam

Kita sudah memahami bersama mengenai wajibnya dan pentingnya berbakti kepada kedua orang tua1. Kemudian setelah itu, ketahuilah bahwa jika kita melihat dalil-dalil, kita temukan bahwa kedudukan ibu lebih utama.

Dalil-dalil mengenai lebih utamanya kedudukan ibu

Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut:

Dalil 1

Dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi:

يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ

“wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan).

Syaikh Fadhlullah Al Jilani, ulama India, mengomentari hadits ini: “ibu lebih diutamakan daripada ayah secara ijma dalam perbuatan baik, karena dalam hadits ini bagi ibu ada 3x kali bagian dari yang didapatkan ayah. Hal ini karena kesulitan yang dirasakan ibu ketika hamil, bahkan terkadang ia bisa meninggal ketika itu. Dan penderitaannya tidak berkurang ketika ia melahirkan. Kemudian cobaan yang ia alami mulai dari masa menyusui hingga anaknya besar dan bisa mengurus diri sendiri. Ini hanya dirasakan oleh ibu” 2.

Al Harits Al Muhasibi juga menukil ijma’ bahwa kedudukan ibu lebih utama dari ayah. Walaupun ada sebagian ulama yang menukil adanya khilaf dalam hal ini. Yaitu sebagian ulama mengatakan kedudukan ayah dan ibu sama, dan ini disandarkan kepada pendapat Imam Malik. Namun insya Allah yang tepat adalah klaim ijma’ karena tegasnya dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut 3.

Dalil 2

Dari Miqdam bin Ma’di Yakrib radhiallahu’ahu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

نَّ اللَّهَ يوصيكم بأمَّهاتِكُم ثلاثًا، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بآبائِكُم، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بالأقرَبِ فالأقرَبِ

“sesungguhnya Allah berwasiat 3x kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat” (HR. Ibnu Majah, shahih dengan syawahid-nya).

Dalil 3

Dari Atha bin Yassar, ia berkata:

عن ابنِ عبَّاسٍ أنَّهُ أتاهُ رجلٌ ، فقالَ : إنِّي خَطبتُ امرأةً فأبَت أن تنكِحَني ، وخطبَها غَيري فأحبَّت أن تنكِحَهُ ، فَغِرْتُ علَيها فقتَلتُها ، فَهَل لي مِن تَوبةٍ ؟ قالَ : أُمُّكَ حَيَّةٌ ؟ قالَ : لا ، قالَ : تُب إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، وتقَرَّب إليهِ ما استَطعتَ ، فذَهَبتُ فسألتُ ابنَ عبَّاسٍ : لمَ سألتَهُ عن حياةِ أُمِّهِ ؟ فقالَ : إنِّي لا أعلَمُ عملًا أقرَبَ إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ مِن برِّ الوالِدةِ

“Dari Ibnu ‘Abbas, ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah ingin melamar seorang wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada orang lain yang melamarnya, lalu si wanita tersebut mau menikah dengannya. Aku pun cemburu dan membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah dan dekatkanlah diri kepadaNya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa anda bertanya kepadanya tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya shahih).

Dan telah dikenal bahwa metode Ibnu Abbas jika dimintai fatwa mengenai kafarah dosa, beliau akan menyarankan dengan amalan yang pahalanya benar-benar seimbang dosa tersebut atau lebih besar pahalanya dari dosa yang ditanyakan, hingga dosa tersebut hilang sama sekali. Selama tidak ada nash khusus mengenai kafarah dosa yang ditanyakan 4. Dan ini menunjukkan bahwa pahala berbakti kepada orang tua terutama kepada ibu itu sangat besar hingga seimbang dan menjadi kafarah dosa membunuh tanpa hak atau bahkan melebihinya sehingga dosa tersebut hilang sama sekali.

Dalil 4

Mengenai kisah Uwais Al Qorni yang sampai-sampai sahabat Nabi sekelas Umar bin Khathab radhiallahu’anhu dan yang lainnya dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menemui Uwais. Hal ini disebabkan begitu hebatnya birrul walidain Uwais terhadap ibunya. Nabi bersabda:

إن خيرَ التابعين رجلٌ يقالُ له أويسٌ . وله والدةٌ . وكان به بياضٌ . فمروه فليستغفرْ لكم

“sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang lelaki bernama Uwais, ia memiliki seorang ibu, dan ia memiliki tanda putih di tubuhnya. Maka temuilah ia dan mintalah ampunan kepada Allah melalui dia untuk kalian” (HR. Muslim).

Dalil 5

Hadits panjang yang dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahih-nya mengenai kisah Juraij. Yang intinya ketika Juraij dipanggil oleh ibunya sedangkan ia sedang shalat, Juraij lebih mementingkan shalatnya dan tidak memenuhi panggilan ibunya. Akhirnya ibunya mendoakan keburukan padanya dan terkabul.

Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan: “Para ulama mengatakan: ‘ini dalil bahwa yang benar adalah memenuhi panggilan ibu, karena Juraij sedang melakukan shalat sunnah. Terus melanjutkan shalat hukumnya sunnah, tidak wajib. Sedangkan menjawab panggilan ibu dan berbuat baik padanya itu wajib, dan mendurhakainya itu haram'”.

Kesimpulannya, dari dalil-dalil ini, para ulama mengatakan:

الأم أحق الناس بحسن الصحبة

“Ibu adalah orang yang paling layak untuk mendapatkan perlakuan yang paling baik”



Pertanyaan: jika opini ibu bertentangan dengan opini ayah, maka siapa yang diambil opininya?

Jika ayah dan ibu memberikan opini kepada anak dan opini mereka saling bertentangan, maka opini siapa yang diambil? Dijawab Syaikh Musthofa Al ‘Adawi: “Yang diambil opininya adalah yang lebih sesuai dengan kebenaran dan lebih dekat kepada ketaqwaan dan ihsan. Adapun jika tidak bisa dibedakan mana opini yang lebih shahih, maka jika perkaranya terkait dengan sikap atau perlakuan baik, maka ibu didahulukan. Adapun jika perkaranya terkait dengan hal umum yang memang bidangnya para lelaki maka opini ayah didahulukan. Wallahu a’lam” 5.

Pertanyaan: jika ayah dan ibu saling berselisih, apa yang semestinya dilakukan anak?

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan: “jika anak mendapati ayah dan ibu saling berselisih, maka wajib baginya untuk mendamaikan keduanya dengan cara yang baik, karena perdamaian itu lebih baik. Dan hendaknya tidak membela salah satunya dengan tangan atau dengan lisan. Yang benar adalah mendamaikannya dengan baik. Allah Ta’ala berfirman:

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al Isra: 23)” 5.

Demikian, semoga yang sedikit ini bermanfaat. Semoga Allah melimpahkan hidayahnya kepada kita semua agar menjadi insan yang berbakti dengan sungguh-sungguh kepada orang tua. Wabillahi at taufiiq was sadaad.

***

Referensi: Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Mengenal Apa Itu Islam, Iman dan Ihsan


Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat sudah tidak lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk sholat dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah sebagian keanehan yang ada di seputar pembagian ini. Apakah pembagian semacam ini dikenal di dalam Islam?


Islam Mencakup 3 Tingkatan

Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.

Tingkatan Islam

Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.

Tingkatan Iman

Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).

Tingkatan Ihsan

Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.

Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)

Muslim, Mu’min dan Muhsin

Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)

Kesimpulan

Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu a’lam.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

3 Pokok Ajaran Islam Yang Wajib Diketahui Saat Ini Juga



Sejauh Mana Pemahaman Kita?

Tak terasa, sudah sejak lama sekali (mungkin sudah 20-an tahun atau bahkan lebih) kita menjadi sebagai seorang muslim. Nikmat yang besar ini patutlah kita syukuri, karena banyak diantara manusia yang tidak memperoleh nikmat ini. Dan nikmat inilah yang sangat menentukan bahagia atau sengsaranya kita di hari akhir nanti.

Pada kesempatan ini, tidaklah kami ingin menanyakan ‘Sejak kapan kita masuk islam?’ atau ‘Bagaimana ceritanya kita masuk islam?’ karena jawaban pertanyaan ini bukanlah suatu yang paling mendasar dan paling penting. Namun pertanyaan paling penting yang harus kita renungkan dan kita jawab pada setiap diri kita adalah: ‘Sudah sejauh manakah kita telah memahami dan mengamalkan ajaran kita ini?’ Pertanyaan inilah yang paling penting yang harus direnungkan dan dijawab, karena jawaban pertanyaan inilah yang nantinya sangat menentukan kualitas keislaman dan ketakwaan seseorang.

Alloh berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati di dalam kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al Ashr: 1-3)

Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Alloh ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (Al Hujurot: 13)

Pokok Ajaran Islam

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah ajaran yang paling sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan buang air besar sampai urusan negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya. Alloh berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)

Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, ‘Sesungguhnya Nabi kamu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai buang air besar!’ Jawab Salman, ‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Semua ini menunjukkan sempurnanya agama Islam dan luasnya petunjuk yang tercakup di dalamnya, yang tidaklah seseorang itu butuh kepada petunjuk selainnya, baik itu teori demokrasi, filsafat atau lainnya; ataupun ucapan Plato, Aristoteles atau siapa pun juga.

Meskipun begitu luasnya petunjuk Islam, pada dasarnya pokok ajarannya hanyalah kembali pada tiga hal yaitu tauhid, taat dan baro’ah/berlepas diri. Inilah inti ajaran para Nabi dan Rosul yang diutus oleh Alloh kepada ummat manusia. Maka barangsiapa yang tidak melaksanakan ketiga hal ini pada hakikatnya dia bukanlah pengikut dakwah para Nabi. Keadaan orang semacam ini tidak ubahnya seperti orang yang digambarkan oleh seorang penyair,

Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila,
namun laila tidak mengakui perkataan mereka

Berserah Diri Kepada Alloh Dengan Merealisasikan Tauhid

Yaitu kerendahan diri dan tunduk kepada Alloh dengan tauhid, yakni mengesakan Alloh dalam setiap peribadahan kita. Tidak boleh menujukan satu saja dari jenis ibadah kita kepada selain-Nya. Karena memang hanya Dia yang berhak untuk diibadahi. Dia lah yang telah menciptakan kita, memberi rizki kita dan mengatur alam semesta ini, pantaskah kita tujukan ibadah kita kepada selain-Nya, yang tidak berkuasa dan berperan sedikitpun pada diri kita?

Semua yang disembah selain Alloh tidak mampu memberikan pertolongan bahkan terhadap diri mereka sendiri sekali pun. Alloh berfirman, “Apakah mereka mempersekutukan dengan berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedang berhala-berhala itu sendiri yang diciptakan. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada para penyembahnya, bahkan kepada diri meraka sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al -A’rof: 191-192)

Semua yang disembah selain Alloh tidak memiliki sedikitpun kekuasaan di alam semesta ini. Alloh berfirman, “Dan orang-orang yang kamu seru selain Alloh tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu, dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)

Tunduk dan Patuh Kepada Alloh Dengan Sepenuh Ketaatan

Pokok Islam yang kedua adalah adanya ketundukan dan kepatuhan yang mutlak kepada Alloh. Dan inilah sebenarnya yang merupakan bukti kebenaran pengakuan imannya. Penyerahan dan perendahan semata tidak cukup apabila tidak disertai ketundukan terhadap perintah-perintah Alloh dan Rosul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang, semata-mata hanya karena taat kepada Alloh dan hanya mengharap wajah-Nya semata, berharap dengan balasan yang ada di sisi-Nya serta takut akan adzab-Nya.

Kita tidak dibiarkan mengatakan sudah beriman lantas tidak ada ujian yang membuktikan kebenaran pengakuan tersebut. Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” ( Al-Ankabut: 2-3)

Orang yang beriman tidak boleh memiliki pilihan lain apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan keputusan. Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)

Orang yang beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan Rosul-Nya akan tetapi mereka mentaatinya lahir maupun batin. Alloh berfirman, “Sesungguhnya jawaban orang-orang beriman, bila mereka diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar rosul menghukum di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)

Memusuhi dan Membenci Syirik dan Pelakunya

Seorang muslim yang tunduk dan patuh terhadap perintah dan larangan Alloh, maka konsekuensi dari benarnya keimanannya maka ia juga harus berlepas diri dan membenci perbuatan syirik dan pelakunya. Karena ia belum dikatakan beriman dengan sebenar-benarnya sebelum ia mencintai apa yang dicintai Alloh dan membenci apa yang dibenci Alloh. Padahal syirik adalah sesuatu yang paling dibenci oleh Alloh. Karena syirik adalah dosa yang paling besar, kedzaliman yang paling dzalim dan sikap kurang ajar yang paling bejat terhadap Alloh, padahal Allohlah Robb yang telah menciptakan, memelihara dan mencurahkan kasih sayang-Nya kepada kita semua.

Alloh telah memberikan teladan kepada bagi kita yakni pada diri Nabiyulloh Ibrohim ‘alaihis salam agar berlepas diri dan memusuhi para pelaku syirik dan kesyirikan. Alloh berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Alloh, kami mengingkari kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh saja.'” (Al-Mumtahanah: 4)

Jadi ajaran Nabi Ibrohim ‘alaihis salam bukan mengajak kepada persatuan agama-agama sebagaimana yang didakwakan oleh tokoh-tokoh Islam Liberal, akan tetapi dakwah beliau ialah memerangi syirik dan para pemujanya. Inilah millah Ibrohim yang lurus! Demikian pula Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengobarkan peperangan terhadap segala bentuk kesyirikan dan memusuhi para pemujanya. Inilah tiga pokok ajaran Islam yang harus kita ketahui dan pahami bersama untuk dapat menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang yakin dan pasti. Dan di atas ketiga pokok inilah aqidah dan syari’ah ini dibangun. Maka kita mohon kepada Alloh semoga Alloh memberikan taufiq kepada kita untuk dapat memahami agama ini, serta diteguhkan di atas meniti din ini. Wallohu a’lam…

***

Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf bin Munasir
Artikel www.muslim.or.id

hadis terkesan anti terhadap anjing


 - Beberapa hadis terkesan anti terhadap anjing. Bagaimana memahami hadis-hadis itu?

Persoalan yang terjadi dalam debat umat Islam mengenai status anjing tidaklah sesimpel ejekan terhadap keterbelakangan umat Islam yang, setelah menjejakkan kaki di abad 21, masih juga berdebat mengenai hukum anjing. Orang bisa saja melakukan kritik semacam itu. Silakan. Namun, kritik itu tidaklah menyentuh jantung problemnya. Kritik itu hanya mudah diterima oleh yang berpandangan “hadis yang bertentangan dengan nalar mestinya diabaikan”.
Kenyataannya, mayoritas muslim saat ini punya “iman” yang kuat terhadap teks hadis. Artinya, kita akan terus tidak layak didengar oleh mayoritas umat Islam selama argumen yang kita bangun berdasar penalaran semata dan tak berlandas pada teks atau metodologi yang diakui.
Faktanya ialah ada sekian banyak hadis sahih berbicara hal yang cenderung negatif mengenai anjing. Sebagian darinya termaktub di Shahih Bukhari dan Muslim. Dua kitab itu adalah kitab tersahih, terselektif dalam menyeleksi para perawi dalam transmisi (sanad), tervalidasi paling akurat setelah Al-Quran (ashahh al-kutub ba’da kitâbillâh). Ini kesepakatan mayoritas ulama. Umat Islam—terutama Sunni—saat ini tidak punya akses menuju apa yang dikatakan Nabi Muhamamd yang melebihi validitas kedua kitab sahih itu.
Di sini problemnya ialah: kalau kita semata-mata menolak suatu hadis atas dasar nalar semata, maka yang terjadi ialah cherry picking (mengambil yang manis [yang masuk akal], membuang yang sepah [yang tak rasional]). Dalam logika demikian, yang terjadi adalah inkonsistensi. Sikap semacam ini, menurut saya, kurang lebih sama dengan kecaman Al-Quran terhadap sikap Ahlul Kitab yang hanya mengambil yang enak saja dari kitab sucinya, dan mengabaikan yang pahit.
Karena itulah, sangat dimaklumi ketika mayoritas umat Islam, dalam menafsiri hadis-hadis tentang anjing yang “tak masuk akal”, berusaha sebisa mungkin melakukan kompromi, baik dengan menghadapkannya dengan Al-Quran yang lebih tinggi statusnya, membandingkannya dengan hadis lain, atau kalau tak bisa ya ditakwil. Yang penting tidak sampai membuang hadis itu, selama sanadnya sahih. [Sayangnya, kritik mata rantai periwayatan hadis (sanad) amat berkembang dalam khazanah Islam, namun kritik isi hadis (matan) masih minim].
Maka wajarlah bila sikap kebanyakan umat Islam amat hati-hati saat berbicara tentang hadis sahih—sekalipun itu tak masuk akal dalam nalar orang modern. Tulisan tentang status anjing dalam tinjaun hadis-hadis sahih ini hendak mengutarakan pandangan dalam kerangka itu: mencoba menggunakan metodologi yang diakui oleh argumen audien. Dua hal yang hendak dibahas di sini: status kenajisannya dan hukum memeliharanya.
***
Dalam soal status kenajisan anjing, sebenarnya tiada masalah berarti. Status kenajisan anjing menjadi bahan perbedaan yang masyhur di kalangan pakar hukum Islam klasik: (1) menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali, tubuh anjing seluruhnya najis; (2) menurut mazhab Abu Hanifah, hanya mulut dan air liurnya saja yang najis; (3) menurut Mazhab Maliki, anjing tidaklah najis secara mutlak.
Mengapa perbedaaan pandangan ini bisa terjadi? Redaksi asli hadis tentang najisnya anjing itu begini: “Sucinya bejanamu yang dijilat anjing ialah dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dengan debu” (HR Bukhari & Muslim). Kata kunci dalam hadis ini ialah “dijilat” (Arabnya: walagha, wulûgh).
Interpretasi ulama fiqh terhadap kata “dijilat” itu tak sesederhana yang terlintas di pikiran awam. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah: kalau jilatannya saja najis, sementara lidah hanya menjilat yang bersih-bersih, apalagi tubuhnya yang belepotan kotoran. Di sini berlaku qiyas-awlawy (contoh lainnya: logika tafsir terhadap ayat “jangan dekati zina” yang kemudian dihasilkan kesimpulan “kalau mendekati saja tak boleh apalagi melakukannya”). Maka tubuh, kulit, dan keringat anjing pun najis.
Menurut Hanafiyah, anjing itu tidak najis di dalam dirinya sendiri (najis al-‘ain). Al-Quran hanya menyebut babi sebagai satu-satunya hewan yang najis (rijs) di dalam dirinya sendiri (lihat QS 6:145). Maka, Hanafiyah berpegang pada teks hadis itu semata: Karena hadisnya hanya menyebut jilatan, maka mulut & liurnya saja yang najis. Selebihnya tidak.
Sedang menurut Malikiyah, bahwa ada perintah membasuh tujuh kali itu sama sekali tak berhubungan dengan kenajisan anjing. Logikanya simpel saja: bukan saja anjing, ayam, kucing, burung, dan hewan-hewan lain yang minum di gelas anda pun kemudian akan anda basuh gelas itu. Alasan di balik hadis itu adalah faktor kebersihan belaka. Adapun ketentuan “tujuh kali dan salah satunya pakai debu” itu tak lain bersifat ta’abbudi (ritual; tak punya rasionalisasi).
Tentang perbedaan pandangan tentang kenajisan anjing ini sebenarnya bukan hal baru. Bagi yang akrab dengan studi fikih lintas mazhab, beda interpretasi semacam itu sudah biasa.
[Note: Di sini ada pelajaran menarik. Yakni, bahwa teks hadis yang segamblang itu ternyata menghasilkan tiga pendapat yang berbeda. Jangankan satu teks, satu kata—bahkan satu harakat dalam sebuah kata—di dalam teks yang sama saja, bisa menyisakan perbedaan mazhab. Karena itu hindarilah pikiran simplistis dalam menafsirkan teks, baik ayat maupun hadis.]
***
Persoalan yang lebih rumit terkait hukum anjing sebenarnya adalah hukum memeliharanya. Ada setidaknya dua hadis sahih yang nampak tidak masuk akal.
Pertama, hadis sahih riwayat Bukhari (no. 3225, 3322, & 4002—sesuai penomoran di al-Maktabah asy-Syamilah). Ketiga hadis itu menyatakan dengan redaksi berbeda, tapi intinya sama: “Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar/patung.” Hadis yang senada juga ada di Shahih Muslim (no. 5633, 5635, & 5636—sesuai penomoran di al-Maktabah asy-Syamilah)
Kedua, hadis sahih riwayat Bukhari (no. 2145) & Muslim (no. 2974, 2943), yang intinya: siapa yang memelihara anjing maka dikurangi pahalanya di setiap harinya sebesar satu qîrâth, kecuali dengan alasan untuk berburu atau menjaga ternak. (Note: Saya agak tergelitik baca hadis ini: kok pahala punya ukuran dengan satuan berat: qirath [sekitar setengah gram, bahkan ada yang bilang sebesar gunung Uhud]?)
Dari kedua hadis itu, sebagian besar ulama, bahkan yang terhitung moderat seperti lembaga fatwa Mesir (Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah) yang berisi ulama Al-Azhar, menyatakan: haram hukumnya memelihara anjing kecuali atas alasan untuk berburu dan menjaga ternak/rumah. Jadi, kalau memelihara anjing atas dasar hobi, menurut sebagian besar ulama, itu haram hukumnya.
***
Ada tiga hal yang perlu jadi pertimbangan sebelum kita bulat menerima kedua hadis anjing itu.
Pertama, terhadap kedua hadis di atas, tentu nalar kita dengan segera akan mengajukan banyak pertanyaan: Bukankah Al-Quran justru menghargai anjing dengan menjadikanya hewan yang terlatih untuk berburu (QS 4:107) juga bagian dari kisah magis Ashabul Kahfi? Mengapa anjing dipandang sedemikian hitamnya di hadis di atas?
Bukankah hadis shahih Bukhari sendiri juga mengisahkan seorang lelaki (menurut cerita yang populer tapi belum saya tahu validitasnya: seorang pelacur) yang masuk surga dengan wasilah memberi minum anjing yang kehausan? Bukankah kalau rumah yang ada anjingnya tak dimasuki malaikat maka orang bisa bebas berbuat dosa & tak akan mati di dalam rumah itu (sebab malaikat Izrail, Raqib, & ‘Atid masih menunggu di luar rumah)? Singkat kalimat, keliaran akal dalam mengambil kesimpulan dari hadis di atas tak bisa dibendung.
Hadis tentang memelihara anjing itu rentan jadi bahan tertawaan. Ia menyentuh bukan saja status anjing melainkan juga bangunan teologi Islam. Nyatanya, pertanyaan-pertanyaan itu sudah dirasakan oleh bukan saja orang modern, tapi ulama klasik. Maka, agar tak terjadi paradoks, sementara iman kepada malaikat adalah salah satu dari 6 rukun iman, sebagian ulama kemudian melakukan spesifikasi (takhshish).
Diketengahkan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani terhadap hadis “malaikat tak masuk rumah yang ada anjingnya itu” bahwa Ibn Waddhah dan al-Khattabi menyatakan: “Malaikat hafazhah (penjaga, pencatat amal) tetap ikut masuk, sebab malaikat hafazhah harus terus membersamai manusia di segala kondisi.” Sebagian ulama lain menyatakan, kata “malaikat” di situ hanya berlaku spesifik untuk Jibril, berdasar pada asbabul-wurud bahwa suatu ketika Rasulullah tiba-tiba tak mau keluar dari rumah yang ada anjingnya tersebab malaikat Jibril tak mau masuk ke dalam rumah itu, sehingga wahyu tak bisa tersampaikan.
Tentang memelihara anjing (kecuali atas tujuan syar’i) yang mengurangi pahala itu pun beda pendapat terjadi. Beda pendapat terjadi sebab satu nalar: bukankah seseorang berkurang-bertambah pahalanya sebab amalnya, dan bukan sebab anjing? Terhadap pertanyaan ini, pandangan terkuat menyatakan: pahala itu dikurangi karena si pemiara melanggar teks hadis larangan memelihara anjing itu sendiri. Sangat tampak dalam kesimpulan ini, sekalipun menyisakan banyak kritik, teks hadis itu tetap dipaksakan agar dipertahankan.
Pendapat-pendapat terkait interpretasi terhadap hadis itu amat banyak. Anda bisa membacanya di syarah hadis-hadis itu (Fath al-Bari, ‘Umdah al-Qari, & Syarh Shahih Muslim). Tentu akan memanjangkan tulisan ini jika semua pendapat diketengahkan. [Note: saya sendiri merasa capek baca komentar-komentar ulama tentang hadis itu. Pendapatnya amat beragam. Kadang-kadang, komentar mereka ada yang sangat tak logis sebab kuat terasa adanya kehendak ingin memaksakan agar hadis itu tetap bisa diterima; tidak diabaikan, sebab sudah diriwayatkan al-Bukhari]
Poin saya adalah: jelas bahwa sejak masa ulama klasik pun sudah dirasakan ada yang paradoks di dalam hadis anjing itu. Selain bertentangan dengan statemen Al-Quran bahwa setiap jiwa senantiasa diiringi oleh “malaikat” penjaga (in kullu nafsin lama ‘alayha hâfizh), hadis itu juga mengandung idhtirâb (kacau): tafsir harfiah dari hadis itu menyisakan tak sedikit silogisme yang tak sinkron dengan bangunan teologi.
***
Kedua, setelah mendapati bahwa komentar mayoritas ulama tetap berusaha agar hadis itu diterima, kita layak bertanya: Bagaimana anjing diperlakukan di masa Nabi Muhammad?
Di Shahih Bukhari sendiri terdapati riwayat, di bab Wudhu, tepat di bahwa hadis tentang pemberi minum anjing kehausan yang kemudian masuk surga: “Anjing-anjing kencing, masuk-keluar masjid di masa Nabi, dan para Sahabat tidak menyiramnya” (kânat al-kilâb tabûlu wa tuqbilu wa tudbiru fi zaman an-Nabiy shallallâhu ‘alayhi wa sallam falam yakûnû yarusysyûna syai’an min dzâlik).
Terkait hadis ini, perdebatan ulama berkisar di persoalan “mengapa para Sahabat tidak menyiramnya?” Itu bahasan tersendiri, tidak diketengahkan di tulisan ini. Tapi bahwa di masa Nabi ada anjing-anjing berkeliaran di masjid (menurut satu pendapat itu maksudnya di emperan masjid), adalah fakta sejarah yang sahih teriwayat oleh al-Bukhari.
Mungkin atas dasar fakta sejarah itulah, kemudian Mazhab Maliki—disamping alasan di bagian awal tulisan ini—menyatakan anjing itu tidak najis. Data sejarah itu merupakan the living sunnah (tradisi yang hidup). Mazhab Maliki menjadikan ‘amal ahl al-madînah (praktek kehidupan orang Madinah) sebagai salah satu sandaran epistemologis.
Data sejarah di Madinah itu menarik, sebab dengan data itu kita tahu tentang tradisi yang hidup di Madinah. Dari data itu kita tahu: Bukan sekedar di rumah, bahkan di masjid yang mestinya suci pun berkeliarannya anjing bukan persoalan yang menimbulkan anti-pati sebagaimana masyarakat muslim kini. Artinya, kenyataan itu kontradiktif dengan praktek di masyarakat muslim saat ini—khususnya di komunitas muslim bermazhab Syafi’i dan Hanbali—yang menistakan anjing.
Poin saya: data sejarah tentang anjing di Madinah di masa Nabi itu ialah sunnah. Sedangkan informasi bahwa malaikat tak masuk rumah yang ada anjingnya ialah hadis. Sunnah itu lebih umum daripada hadis. Sunnah itu kenyataan yang cair, sedangkan hadis adalah catatan yang beku. Kita mestinya tidak membekukan fakta cair itu dan mereduksinya dalam tafsiran yang simplistis nan beku sebagaimana termaktub dalam hadis.
Sunnah (tradisi) menjelaskan generasi muslim awal tiada memiliki masalah berarti dengan anjing. Problem terhadap anjing mulai membudaya sejak hadis-hadis ahad soal anjing itu menyebar luas.
***
Ketiga, hadis ahad (bukan mutawatir), meski sahih, statusnya adalah zhannyyul-wurûd (spekulatif berasal dari Nabi). Status zhanny berarti kemungkinan besar ia pernah dikatakan Nabi, tapi tetap saja ia tidak pasti 100 persen dari Nabi; tidak qath’iyyul-wurud. Yang tersepakati qath’iyyul-wurûd ialah Al-Quran dan hadis-hadis yang mutawatir.
Bagaimana Al-Quran berbicara tentang anjing? Al-Quran tidak pernah menista anjing. Al-Quran justru memberi penghargaan bahwa anjing adalah hewan yang terlatih—bahkan yang paling terlatih—untuk diajak berburu (QS 4:107). Al-Quran mengisahkan tentang anjing yang setia menjaga Para Pemuda Gua (QS 18: 20-22).
Kalau kita sepakat bahwa yang zhanny (spekulatif) mestinya tidak boleh dominan dibanding yang qath’iy (pasti), maka kita mestinya lebih memenangkan bagaimana Al-Quran mencitrakan anjing dibanding statemen hadis yang menista anjing. Lagipula, apa yang salah terhadap anjing, padahal mazhab Maliki dan Hanafi tidak menganggapnya najis secara mutlak? Bukankah yang tidak najis pada dirinya sendiri itu adalah bukti bahwa ia juga sebagaimana hewan bersih lainnya? Sayangnya, mayoritas umat Islam lebih mengutamakan apologi, menerima hadis anjing di atas tanpa tanpa rasionalisasi; memang benar-benar tak memerlukan alasan.
***
Dari bahasan soal anjing ini, ada satu pelajaran penting: hadis-hadis itu begitu superior mencengkeram dan mendikte budaya umat Islam, bahkan kadang lebih populer dari Al-Quran sendiri. Begitu kencangnya hadis dalam membentuk adat masyarakat Islam, sampai-sampai yang sudah tahu bahwa Mazhab Maliki tak menganggap anjing itu najis pun masih tetap mengalami kegoncangan psikologis saat didekati anjing.
Budaya dominan dalam masyarakat Islam akan terus begitu selama tiada rekonstruksi, reintepretasi, reformasi, atau apalah namanya, pada bagaimana kita semestinya berinteraksi dengan hadis. Wallahu ‘alam. Azis Anwar Fachrudin