Haruskah Keburukan Orang Lain Dibalas


Dalam kehidupan sehari-hari, Pasti ada saja orang-orang yang membenci kita, orang-orang yang zholim , orang-orang yang melakukan hal-hal buruk, baik berupa hinaan, cacian, dan semacamnya.

Bagaimanakah seharusnya sikap kita terhadap mereka ini?

Allah Ta’ala berfirman :

ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ

“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat : 34).

Penjelasan dari ayat di atas adalah sebagaimana berikut…

Jika seseorang melakukan keburukan terhadapmu, terlebih khusus lagi jika mereka adalah kerabat-kerabatmu, sahabat-sahabatmu, mereka berbuat buruk kepadamu, baik melalui lisan mereka maupun perbuatan mereka, maka balaslah mereka dengan kebaikan. Jika mereka memutus silaturahmi denganmu, maka sambunglah kembali silaturahmi tersebut. Jika mereka berbuat zholim kepadamu, maka maafkanlah.

Jika mereka menjelek-jelekkanmu, di belakang maupun di hadapanmu, maka jangan engkau jelek-jelekkan mereka kembali, bahkan maafkanlah mereka, dan balas mereka dengan perkataan yang lembut. Jika mereka mengacuhkanmu, tidak mau berbicara denganmu, maka mulailah salam kepada mereka, sapalah mereka dengan baik.

Niscaya jika engkau telah melakukan itu semua, suatu saat nanti mereka akan berbalik menyukaimu, yang sebelumnya memusuhimu, berbalik menjadi teman setiamu.

Sesungguhnya hati manusia ada di antara jari-jariNya, Dialah yang membolak-balikkan hati manusia sesuai kehendakNya. Sangatlah mudah bagi Allah untuk mengubah benci menjadi cinta ataupun sebaliknya.

Inilah janji Allah dalam FirmanNya, namun sayang beribu sayang, seringkali gengsi kita mengalahkan itu semua, sehingga terlewatilah nasihat dari langit ini untuk kita amalkan.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang selalu berusaha menerapkan Al-Quran dalam kehidupan kita sehari-hari.

***

Disarikan dari Tafsir Surat Fussilat ayat 34 kitab Taisir Kariimirrahman  oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dan Syarah Riyadush Shalihin oleh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin dengan beberapa penambahan

Penulis: Boris Tanesia

Artikel Muslim.or.id

Kenapa Muslim Taat Harus Gemar Memakmurkan Masjid


Allah Ta’ala berfirman:

{مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ. إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ}

“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allah Ta’ala)” (QS At-Taubah: 18).

Ayat yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan memakmurkan masjid yang didirikan karena Allah Ta’ala, dalam semua bentuk pemakmuran masjid, bahkan perbuatan terpuji ini merupakan bukti benarnya iman dalam hati seorang hamba.

Imam al-Qurthubi berkata: “Firman Allah Ta’ala ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa mempersaksikan orang-orang yang memakmurkan masjid dengan keimanan adalah (persaksian yang) benar, karena Allah Ta’ala mengaitkan keimanan dengan perbuatan (terpuji) ini dan mengabarkan tentanganya dengan menetapi perbuatan ini. Salah seorang ulama Salaf berkata: Jika engkau melihat seorang hamba (yang selalu) memakmurkan masjid maka berbaiksangkalah kepadanya”1.

Ada hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menyebutkan hal ini, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (5/12 dan 277), Ibnu Majah (no. 802), Ahmad (3/68 dan 76) dan al-Hakim (1/322 dan 2/363) dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika engkau melihat seorang hamba yang selalu mengunjungi masjid maka persaksikanlah keimanannya”, kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membaca ayat tersebut di atas.

Akan tetapi hadits ini lemah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Darraj bin Sam’an Abus samh al-Mishri, dia meriwayatkan hadits ini dari Abul Haitsam Sulaiman bin ‘Amr al-Mishri, dan riwayatnya dari Abul Haitsam lemah, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu hajar al-‘Asqalani2.

Hadits ini dinyatakan lemah oleh Imam adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani karena rawi di atas3.

Karena hadits ini lemah, maka tentu tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dan argumentasi yang menunjukkan keutamaan di atas, tapi cukuplah firman Allah Ta’ala di atas dan hadits-hadits lain yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menunjukkan keutamaan tersebut.

Misalnya, hadits riwayat Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy)-Nya pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya… (di antaranya): Seorang hamba yang hatinya selalu terikat dengan masjid”4.

Imam an-Nawawi berkata: “Artinya: dia sangat mencintai masjid dan selalu menetapinya untuk melaksanakan shalat berjamaah”5.

Hakikat memakmurkan masjid

Makna memakmurkan masjid adalah menetapinya untuk melaksanakan ibadah di dalamnya dalam rangka mencari keridhaan-Nya, misalnya shalat, berdzikir kepada Allah Ta’ala dan mempelajari ilmu agama. Juga termasuk maknanya adalah membangun masjid, menjaga dan memeliharanya6.

Dua makna inilah yang diungkapkan oleh para ulama Ahli tafsir ketika menafsirkan ayat dia atas. Imam Ibnul Jauzi berkata: “Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid (dalam ayat di atas) ada dua pendapat:

Selalu mendatangi masjid dan berdiam di dalamnya (untuk beribadah kepada Allah Ta’ala)
Membangun masjid dan memperbaikinya”7.
Maka hakikat memakmurkan masjid adalah mencakup semua amal ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala yang diperintahkan atau dianjurkan dalam Islam untuk dilaksanakan di masjid.

Oleh karena itu, tentu saja shalat berjamaah lima waktu di masjid bagi laki-laki adalah termasuk bentuk memakmurkan masjid, bahkan inilah bentuk memakmurkan masjid yang paling utama.

Imam Ibnu Katsir menukil dengan sanad beliau ucapan shahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata: “Barangsiapa yang mendengar seruan adzan untuk shalat (berjamaah) kemudian dia tidak menjawabnya dengan mendatangi masjid dan shalat (berjamaah), maka tidak ada shalat baginya dan sungguh dia telah bermaksiat (durhaka) kepada Allah dan Rasul-Nya”. Kemudian ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu membaca ayat tersebut di atas8.

Sebaliknya, semua perbuatan yang bertentangan dengan petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, meskipun dihadiri oleh banyak orang dan menjadikan masjid penuh dan ramai, maka semua ini tidaklah termasuk memakmurkan masjid. Seperti pelaksanaan acara-acara bid’ah9 yang dilakukan di beberapa masjid kaum muslimin oleh orang-orang yang jahil, apalagi jika dalam acara tersebut terdapat unsur kesyirikan (menyekutukan Allah Ta’ala) dan hal-hal yang bertentangan dengan aqidah Islam yang lurus.

Imam Ibnu Katsir berkata: “Bukanlah yang dimaksud dengan memakmurkan masjid-masjid Allah hanya dengan menghiasi dan mendirikan fisik (bangunan)nya saja, akan tetapi memakmurkannya adalah dengan berdzikir kepada Allah dan menegakkan syariat-Nya di dalamnya, serta membersihkannya dari kotoran (maksiat) dan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala)”10.

Demikian pula, perbuatan yang dilakukan oleh sebagian dari orang-orang awam ketika mendirikan masjid, dengan berlebih-lebihan menghiasi dan meninggikannya, sehingga mengeluarkan biaya yang sangat besar, bukan untuk memperluas masjid sehingga bisa menampung jumlah kaum muslimin yang banyak ketika shalat berjamaah, tapi hanya untuk menghiasi dan mempertinggi bangunan fisiknya.

Perbuatan ini jelas-jelas bertentangan dengan petunjuk Allah Ta’ala yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana yang dinyatakan dalam beberapa hadits shahih berikut:

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah terjadi hari kiamat sampai manusia berbangga-bangga dengan masjid”11.

Arti “berbangga-bangga dengan masjid” adalah membanggakan indahnya bangunan, hiasan, ukiran dan tinggi bangunan masjid, supaya terlihat lebih indah dan megah dibandingkan dengan masjid-masjid yang lain12.

Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini diharamkan dalam Islam karena perbuatan ini dikaitkan dengan keadaan di akhir jaman sebelum terjadinya hari kiamat, yang waktu itu tersebar berbagai macam kerusakan dan keburukan, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits shahih lainnya13.

Dalam hadits lain, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Aku tidak diperintahkan untuk menghiasi (atau meninggikan bangunan) masjid (secara berlebihan)”. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu berkata: (Artinya) menghiasinya seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani menghiasi (tempat-tempat ibadah mereka)14.

Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut di atas haram hukumnya dalam Islam, karena menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashrani dan ini dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk (bagian) dari mereka”15.

Bahkan perbuatan ini bertentangan dengan petunjuk sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan termasuk bid’ah, ditambah lagi dengan pemborosan harta untuk biaya hiasan dan peninggian bangunan tersebut, serta hilangnya kekhusyu’an dalam ibadah akibat dari hiasan-hiasan yang melalaikan hati tersebut, padahal khusyu’ adalah ruh ibadah16.

Berdasarkan keterangan di atas, maka yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam mendirikan masjid adalah memilih yang sederhana dalam bangunan dan hiasan masjid.

Imam Ibnu Baththal dan para ulama lain berkata: “Dalam hadits di atas terdapat dalil (yang menunjukkan) bahwa (yang sesuai dengan) sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam mendirikan masjid adalah (bersikap) sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam menghiasinya. Sungguh ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu’anhu di jaman (kekhalifahan) beliau, meskipun banyak negeri musuh yang ditaklukkan dan ada kelapangan harta, tapi beliau radhiallahu’anhu tidak merubah Masjid Nabawi dari keadaannya semula… Lalu di jaman (kekhalifahan) ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu yang waktu itu harta lebih banyak, tapi beliau radhiallahu’anhu hanya memperindah (menambah luas) Masjid Nabawi tanpa menghiasinya (secara berlebihan)”17.

Bercermin pada Masjidil haram dan Masjid Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

Sebaik-baik masjid yang ada di muka bumi ini adalah dua masjid yang berada di dua kota suci dan paling dicintai oleh Allah Ta’ala, yaitu Mekkah dan Madinah.

Masjidul haram dan Masjid Nabawi adalah dua masjid yang paling dirindukan oleh orang-orang yang beriman dan paling pantas untuk dimakmurkan dengan berbagai macam ibadah yang disyariatkan dalam Islam, seperti thawaf dan sa’i ketika melaksanakan ibadah haji atau ‘umrah di Masjidil haram, melaksanakan shalat di kedua masjid tersebut, dan ibadah-ibadah agung lainnya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu (kali) shalat di masjid lain kecuali Masjidil haram”18. Dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu’anhu ada tambahan: “… Dan shalat di Masjidil haram lebih utama daripada seratus seribu (kali) shalat di masjid lain”19.

Bahkan kerinduan untuk mengunjungi dan memakmurkan dua masjid mulia ini merupakan bukti benarnya iman yang ada di hati seorang hamba.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya iman akan selalu kembali (berkumpul) di kota Madinah sebagaimana ular yang selalu kembali ke lubang (sarang)nya”20. Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “… Agama Islam akan selalu kembali (berkumpul) di dua masjid (Masjidul haram dan Masjid Nabawi) sebagaimana ular yang selalu kembali ke lubang (sarang)nya”21.

Khusus yang berhubungan dengan “memakmurkan masjid”, sebagian dari para ulama mengatakan bahwa ibadah ‘umrah secara bahasa asalnya diambil dari kata “memakmurkan Masjidil haram”22, ini menunjukkan bahwa masjid inilah yang paling pantas untuk selalu dikunjungi dan dimakmurkan dengan ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam Islam.

Dan memang pada kenyataannya, dari dulu sampai sekarang, kedua masjid inilah yang selalu menjadi teladan dalam ‘kemakmuran masjid’ karena banyaknya kegiatan-kegiatan ibadah agung yang dilaksanakan di dalamnya. Seperti maraknya majelis ilmu yang bermanfaat di beberapa tempat di dalam dua masjid tersebut, dengan nara sumber para ulama yang terpercaya dalam ilmu mereka. Demikian pula halaqah-halaqah tempat para penghafal al-Qur’an maupun orang-orang yang belajar membacanya dengan benar, di hampir setiap sudut masjid. Belum lagi kegiatan ibadah seperti shalat-shalat sunnah, berdzikir kepada Allah Ta’ala, membaca al-Qur’an hanya marak dilakukan di siang dan malam hari, dalam rangka mencari keutamaan yang berlipat ganda yang Allah Ta’ala khususkan bagi dua masjid mulia ini.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini, tidak lain kecuali untuk mempelajari atau mengamalkan kebaikan maka dia akan mendapatkan kedudukan seperti orang yang berjihad di jalan Allah”23.

Khususnya di Masjidil haram, kegiatan ibadah thawaf dan sa’i yang bisa dikatakan tidak pernah terputus dilakukan, baik ketika musim haji ataupun di waktu lain untuk ‘umrah. Bahkan kegiatan thawaf sunnah hanya terhenti ketika dikumandangkan iqamah untuk pelaksanaan shalat berjamaah lima waktu.

Bagi orang yang pernah melaksanakan ibadah ‘umrah dan mengunjungi dua masjdi tersebut di bulan Ramadhan, tentu akan selalu terkenang dengan sifat dermawan yang ditunjukkan di dua masjid tersebut, utamanya di Masjid Nabawi, berupa suguhan berbagai macam makanan lezat untuk berbuka puasa yang memenuhi seluruh masjid dari depan sampai belakang, mulai dari kurma, air zam-zam, roti, yogurt, Haisah24 dan lain-lain. Khusus untuk di halaman Masjid, makanan berupa nasi ‘Arab denga lauk ayam bakar, daging kambing dan lain-lain.

Bahkan lebih dari itu, para penyedia makanan untuk berbuka puasa tersebut menugaskan beberapa orang, biasanya anak-anak kecil, untuk memanggil dan membujuk orang-orang yang berada di masjid tersebut atau orang-orang yang lewat untuk bersedia berbuka puasa di tempat yang mereka sediakan.

Subhanallah! Mereka benar-benar ingin mengamalkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang memberi makan orang lain untuk berbuka puasa maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun”25.

Dan masih banyak kegiatan-kegiatan ibadah agung lain yang marak terlihat di dua masjid mulia ini dan tentu tidak bisa dipaparkan semua.

Masjid yang tidak boleh dimakmurkan bahkan wajib dijauhi dan dihancurkan

Allah Ta’ala berfirman:

{وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ. لا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ}

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan keburukan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu/membantu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sungguh bersumpah: “Kami tidak meng-hendaki selain kebaikan”, dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pen-dusta. Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya!” (QS At-Taubah: 107-108).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan keberadaan masjid-masjid yang didirikan untuk tujuan yang buruk dan bukan untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala. Inilah yang disebut sebagai “Masjid dhirar”.

Maka Allah Ta’ala melarang Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam dan seluruh umat Islam untuk shalat di masjid seperti itu selama-lamanya26.

Inilah masjid yang tidak boleh dikunjungi dan dimakmurkan bahkan wajib dijauhi dan dihancurkan27, karena didirikan untuk tujuan yang buruk, seperti memecah belah kaum muslimin, menyebarkan ajaran sesat dan amalan bid’ah, serta tujuan-tujuan buruk lainnya28.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Termasuk dalam kandungan (ayat) di atas adalah orang yang mendirikan bangunan yang menyerupai masjid-masjid kaum muslimin, (tapi) bukan untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang disyariatkan (dalam Islam), seperti kuburan-kuburan yang dikeramatkan dan lain-lain. Terlebih lagi jika di dalamnya terdapat keburukan, kekafiran, (upaya) memecah belah kaum mu’minin, tempat yang disediakan untuk orang-orang munafik dan ahli bid’ah yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hal-hal yang mendukungnya. Maka bangunan (masjid) ini serupa dengan “Masjid dhirar”29.

Penutup

Semoga Allah Ta’ala menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk selalu bersegera dalam kebaikan dalam rangka mencari keridhaan-Nya.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia Ta’ala menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu memakmurkan masjid-masjid Allah Ta’ala dan meraih kesempurnaan iman dengan taufik-Nya. Sesungguhnya Dia Ta’ala maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 6 Muharram 1437 H

***

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim, Lc., MA.

Artikel Muslim.or.id

______

1 Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (8/83).

2 Dalam kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 201).

3 Lihat kitab “Tamaamul minnah” (hlmn 291-292).

4 HSR al-Bukhari (no. 1357) dan Muslim (no. 1031).

5 Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam “Syarah shahih Muslim” (7/121).

6 Lihat kitab “Aisarut tafaasiir” (2/66).

7 Kitab “Zaadul masiir” (3/408).

8 Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (2/449).

9 Yaitu semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

10 Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (1/216).

11 HR Ahmad (3/134), Abu dawud (no. 449), Ibnu Khuzaimah (2/282), Ibnu Hibban (4/493) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, as-Suyuthi dan Syaikh al-Albani (Shahiihul jaami’ no. 7421).

12 Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (2/84) dan “Taudhiihul ahkaam” (2/137).

13 Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdullah al-Bassam dalam kitab “Taudhiihul ahkaam” (2/138).

14 HR Abu dawud (no. 448) dan Ibnu Hibban (4/493) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban, as-Suyuthi dan Syaikh al-Albani (Shahiihul jaami’ no. 5550).

15 HR Abu dawud (no. 4031) dan Ahmad (2/50), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.

16 Lihat kitab “Taudhiihul ahkaam” (2/139-140).

17 Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab “Fathul Baari” (1/540).

18 HSR al-Bukhari (1/398) dan Muslim (no. 1394).

19 HR Ahmad (3/343) dan Ibnu Majah (no. 1406), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.

20 HSR al-Bukhari (2/663) dan Muslim (no. 147).

21 HSR Muslim (no. 146).

22 Lihat kitab “Fathul Baari” (3/597).

23 HR Ahmad (3/343) dan Ibnu Majah (no. 1406), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.

24 Makanan khas ‘Arab yang terbuat dari campuran dan adonan kurma kering, tepung, keju dan minyak samin (lihat kitab “’Aunul Ma’buud” 13/260).

25 HR Ibnu Majah (no. 227), dinyatakan shahih oleh Imam al-Bushiri dan Syaikh al-Albani.

26 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/510).

27 Lihat kitab “Majmu’ul fataawa” (27/140 dan kitab “Zaadul ma’aad” (3/480).

28 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi tafsiiri kalaamin Mannaan” (hlmn 351).

29 Kitab “Iqtidhaa-ush shiraathil mustaqiim” (1/431).

Cara Menyampaikan Cinta Kepadanya Menurut Islam


Sesungguhnya ajaran Islam merupakan ajaran yang penuh kasih sayang. Tidak ada ajaran manapun yang melebihi kasih sayang dalam ajaran Islam. Bagaimana tidak? Sementara dalam Islam diajarkan bahwa semua pemeluk agama Islam itu bersaudara. Satu sama lain memiliki hubungan ukhuwah. Mereka dipersatukan oleh kalimat tauhid yang kokoh. Selain itu, sesama umat Islam dianggap sama di hadapan Allah Ta’ala. Karenanya Islam tidak mengenal istilah kasta. Mereka yang duduk di atas kursi kepemimpinan dengan mereka yang berada di bawah terik matahari bercocok tanam sama di sisi Allah. Mereka yang memiliki istana mewah sama kedudukannya dengan mereka yang hanya bertinggal di bawah kolong jembatan. Semuanya sama. Tak ada bedanya.

Tidak sampai di situ, persaudaraan dalam Islam dianggap suatu urgensitas kekuatan. Apalagi di saat kondisi musuh mengepung dari segala penjuru, seperti yang terjadi di zaman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tatkala kaum kuffar bersepakat untuk memburu kaum muslimin. Siksa demi siksa terus diarahkan kepada siapa pun yang memeluk Islam. Karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan supaya kaum muslimin bersatu. Baik bersatu dalam pendapat maupun tempat. Akhirnya hijrah pun disyariatkan. Mereka yang masih tinggal di Makkah diperintahkan supaya berhijrah ke Madinah untuk berkumpul bersama saudara-saudara seiman mereka di sana demi tercapainya tujuan yang mulia.

Bahkan Allah sampai mengancam orang yang enggan melakukan hijrah dari negeri kufur ke negeri Islam bukan karena alas an syar’i. hal ini tercermin dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا فَأُولَٰئِكَ عَسَى اللَّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS: An-Nisa: 97-99).

Demikianlah, persatuan umat Islam yang diperlukan dalam setiap kondisi. Terkait persaudaraan sesama muslim, Allah Ta’ala menegaskan,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS: Al-Hujarat: 10).

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره بحسب امرىء من الشر أن يحقر أخاه المسلم

“Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim lainnya. Ia tidak boleh menganiayanya, menelantarkannya, dan meremehkannya. Orang yang merendahkan saudaranya semislam itu sudahlah dianggap sebagai orang yang buruk perangainya” (HR Muslim).

Dalam hadits lain, beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda,

لا يؤمن أحدكم حتى يحبَّ لأخيه ما يحب لنفسه

“Iman salah seorang kalian tidaklah sempurna sampai ia mencintai pada apa yang ada pada saudaranya persis seperti ia mencintai sesuatu yang ada pada dirinya sendiri”

Dalam Shahih Al-Bukhari, ketika Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– hendak meminang ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha– dari bapaknya, Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhu-, Abu Bakar –antara lain- mengatakan pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Aku ini hanyalah saudaramu”. “Engkau adalah saudaraku menurut agama Allah dan kitab-Nya, sedangkan ‘Aisyah halal untuk diriku”.

Pada kesempatan lain, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menyatakan:

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, berbelas kasih sesame mereka itu bagaikan satu jasad yang apabila ada anggota badan itu ditimpa sakit, maka seluruh anggota badan lain akan merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam”.

Oleh karena hal tersebut, sehingga tidaklah heran manakala Allah Ta’ala mensyariatkan orang-orang Islam yang masih hidup untuk mendoakan suadara-saudara merek ayang sudah meninggal.

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS: Al-Hasyr: 10).

Di samping itu, terkadang keakraban seorang muslim dengan saudaranya itu akan lebih erat ketika masing-masing merasa diperhatikan oleh saudaranya itu. dengan demikian orang akan merasa kuat dan tegar dalam segala keadaan karena Allah telah mengiriminya saudara yang siap membantunya kapan pun. Dengan itulah orang-orang mukmin terlihat kokoh dan perkasa di hadapan orang-orang kafir sehingga mereka disegani dan dipandang.

Dari situ maka termasuk hal yang sunnah dalam persaudaraan seiman ialah menyampaikan perasaan cinta itu kepada orang yang dicintainya.

Mengenai hikmah dibalik itu, Al-Munawi mengatakan, “Hal tersebut akan melanggengkan keakraban dan mengokohkan rasa cinta. Dengannya kecintaan akan bertambah dan berlipat, menyatukan suara serta pendapat di antara sesame orang Islam, dan menggugurkan kerusakan serta dendam kesumat. Ini merupakan bagian dari keindahan syariat Islam” (Faidhul Qadir I/357).

Sebelumnya beliau menjelaskan bahwa apabila ia memberinya tahu tentang perasaan cintanya itu, maka hatinya kan lebih condong dan akan diperolehlah rasa kasihsayang. Karena apabila ia mengetahui bahwa ia mencintainya sebelum ia memberinya nasehat tentang kekeliruannya supaya dapat ditinggalkannya, ia tak akan menolak. Sehingga keberkahan dapat diperoleh di situ.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya, “Ada seseorang yang bersanding dengan Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Lantas lewatlah seseorang. Orang yang di saniding Nabi tadi pun berkata, “Sejatinya aku mencintai orang ini”.

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun bertanya, ‘Sudahkah engkau beri tahu dia?’

Ia menjawab, ‘Belum’.

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, ‘Kalau begitu berilah dia tahu’”.

Anas menceritakan, “Maka orang tadi pun mengejarnya seraya berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.”

Ia menimpali, ‘Semoga Dzat yang telah membuatmu mencintaiku, mencintaimu’” (HR Abu Dawud).

Dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abu Dzar –radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya ia mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

إِذَا أَحَبَّ أَحَدَكُمْ صَاحِبَهُ ، فَلْيَأْتِهِ فِي مَنْزِلِهِ ، فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ لِلهِ

“Apabila salah seorang kalian mencintau rekannya, seyogyanya ia mendatanginya di rumahnya dan memberinya tahu bahwa ia mencintainya karena Allah”.

Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad meriwayatkan dari Mujahid, katanya, “Salah seorang shahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pernah menjumpaiku. Ia meraih pundakku dari belakang seraya bertutur, “Sesungguhnya aku mencintaimu”. Ia berkata, ‘Semoga engkau dicintai Dzat yang telah membuatmu mencintaiku’. Ia berkata pula, ‘Kalaulah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pernah bersabda,

إذا أحب الرجل الرجل فليخبره أنه يحبه

“Apabila seseorang mencintai orang lain, hendaknya ia memberinya tahu bahwa ia mencintainya, tentulah aku tidak akan memberimu tahu”.

Mujahid berkata, “Beliau pun mulai menawariku untuk melamar seseorang. Katanya, ‘Sesungguhnya ada di tengah-tengah kami budak wanita. Namun ketahulah bahwa dia itu bermata sebelah’”.

Dikisahkan dari Abu Muslim Al-Khaulani –rahimahullah-, kisahnya, “Pernah aku memasuki sebuah masjid di kota Homs. Di dalamnya kujumpai ada sekitar 30 orang yang sudah tua dari kalangan shahabat Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Di tengah mereka terdapat anak muda yang kedua matanya hitam, gigi depannya putih berdiam. Apabila orang-orang bingung terhadap suatu masalah, mereka menghadapnya untuk memecahkan masalah itu.

Aku pun bertanya pada orang yang duduk di sisiku, ‘Siapakah gerangan?’. Jawabnya, ‘Beliau itu Mu’adz bin Jabal’.

Tiba-tiba terpatrilah rasa cintaku padanya dalam hatiku. Aku masih saja berada di tengah mereka sampai bubar. Aku pun lantas bergegas ke masjid. Ternyata Mu’adz bin Jabal tengah mengerjakan shalat menghadap suatu tiang masjid. Beliau terdiam tidak mengajakku berbicara. Aku pun demikian tak mengajakknya berbincang. Aku kerjakan shalat lantas aku duduk duduk dengan beralaskan kainku. Beliau masih duduk terdiam tidak mengajakku berbicara. Aku juga berdiam diri tidak mengajaknya berdialog. Kemudian kukatakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu.’ Beliau menimpali, ‘Kamu mencintaiku karena siapa?’ Kataku, ‘Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala.’ Beliau pun mengambil kainku dan menarikku kepadanya sebentar. Beliau berkata, ‘Kalau kamu jujur, maka selamat! Sebab aku telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,

المتحابون في جلالي لهم منابر من نور ، يغبطهم النبيون و الشهداء

“Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang membuat para nabi dan orang yang mati syahid iri pada mereka”.

Abu Muslim mengisahkan, “Aku keluar dan berjumpa dengan ‘Ubadah bin Ash-Shamid –radhiyallahu ‘anhu-. Kataku, ‘Wahai Abul Walid (sapaan ‘Ubadah), maukah aku ceritakan padanmu tentang apa yang telah diceritakan Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu– terkait orang-orang yang saling mencintai?’

Jawabnya, ‘Aku akan menceritakan padamu dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang diriwayatkannya dari Rabb Ta’ala’. Dia berfirman,

حقت محبتي للمتحابين في ، و حقت محبتي للمتباذين في ، و حقت محبتي للمتواصلين في

“Orang yang saling mencintai karena diri-Kuberhak memperoleh cinta-Ku, orang yang saling memberi bantuan berhak mendapatkan cinta-Ku, dan orang-orang yang saling menyambung (kekerabatan) berhak Kucintai” (HR At-Tirmidzi).

Sekarang timbul pertanyaan, bolehkan menyampaikan ungkapan semacam ini pada wanita bukan mahram?

Al-‘Allamah ‘Abdurrauf Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir (I/247) ketika menjelaskan hadits:

إذا أحب أحدكم عبدا قليخبره فإنه يجد مثل الذي يجد له

“Apabila salah seorang kalian mencintai seseorang, hendaklah ia memberinya tahu. Sebab, sesungguhnya ia merasa seperti apa yang dirasakannya”.

Katanya, “Maksudnya ialah seseorang dari kalangan orang-orang muslim, kerabat maupun lainnya, laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi ini ditaqyidkan dalam pada itu jika wanita tersebut ialah isteri atau mahramnya”.

Dalam As-Siraj Al-Munir (I/79), ‘Ali bin Ahmad Al-‘Azizi menulis, “Yang dimaksud dengan saudara di sini ialah seseorang, laki maupun perempuan. Penempatannya, jika laki-laki mengucapkan pada laki-laki, dan apabila perempuan mengucapkan pada perempuan. Atau laki-laki mengucapkan pada wanita mahramnya atau isterinya jika itu wanita bukan mahram”.

Adapun hikmah dibalik larangan mengungkapkan rasa cinta pada wanita yang bukan mahram ialah agar tidak terbelenggu dalam fitnah. Apalagi jika yang mengucapkan adalah pria muda kepada wanita remaja. Karena pada prinsipnya, cinta pada wanita itu hanya terjadi pada isteri dan mahram. Sementara kepada wanita asing yang bukan mahram, pintu komunikasi harus benar-benar ditutup, tidak boleh dibiarkan terbuka menganga.

***

Penulis: Firman Hidayat bin Marwadi

Artikel Muslim.or.id

Dosa Besar Jika Durhaka Pada Orang Tua


Setelah kita mengetahui dalil-dalil yang memerintahkan kita untuk birrul walidain (berbakti kepada orang tua)1, sekarang kita membahas kebalikannya yaitu durhaka kepada orang tua. Sebagaimana tingginya keutamaan dan urgensi birrul walidain, maka konsekuensinya betapa besar dan bahayanya hal yang menjadi kebalikannya yaitu durhaka kepada orang tua.

Bahkan durhaka kepada orang tua adalah dosa besar. Ini secara tegas dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

أكبرُ الكبائرِ : الإشراكُ بالله ، وقتلُ النفسِ ، وعقوقُ الوالدَيْنِ ، وقولُ الزورِ . أو قال : وشهادةُ الزورِ
“dosa-dosa besar yang paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, dan perkataan dusta atau sumpah palsu” (HR. Bukhari-Muslim dari sahabat Anas bin Malik).

Dalam hadits Nafi’ bin Al Harits Ats Tsaqafi, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ألا أنبِّئُكم بأكبرِ الكبائرِ . ثلاثًا ، قالوا : بلَى يا رسولَ اللهِ ، قال : الإشراكُ باللهِ ، وعقوقُ الوالدينِ
“maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya ini 3x. Para sahabat mengatakan: tentu wahai Rasulullah. Nabi bersabda: syirik kepada Allah dan durhaka kepada orang tua” (HR. Bukhari – Muslim).

Ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkali-kali memperingatkan para sahabat mengenai besarnya dosa durhaka kepada orang tua. Subhaanallah!.

Dan perhatikan, sebagaimana perintah untuk birrul walidain disebutkan setelah perintah untuk bertauhid, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” (QS. An Nisa: 36). Maka di hadits ini dosa durhaka kepada orang tua juga disebutkan setelah dosa syirik. Ini menunjukkan betapa besar dan fatalnya dosa durhaka kepada orang tua.

Namun perlu di ketahui, sebagaimana dosa syirik itu bertingkat-tingkat, dosa maksiat juga bertingkat-tingkat, maka dosa durhaka kepada orang tua juga bertingkat-tingkat.

Durhaka kepada ibu, lebih besar lagi dosanya

Sebagaimana kita ketahui dari dalil-dalil bahwa berbuat baik kepada ibu lebih diutamakan daripada kepada ayah, maka demikian juga durhaka kepada ibu lebih besar dosanya. Selain itu, ibu adalah seorang wanita, yang ia secara tabi’at adalah manusia yang lemah. Sedangkan memberikan gangguan kepada orang yang lemah itu hukuman dan dosanya lebih besar dari orang biasa atau orang yang kuat.

Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ حرَّمَ عليكم عقوقَ الأمَّهاتِ ، ومنعًا وَهاتِ ، ووأدَ البناتِ وَكرِه لَكم : قيلَ وقالَ ، وَكثرةَ السُّؤالِ ، وإضاعةَ المالِ
“sesungguhnya Allah mengharamkan sikap durhaka kepada para ibu, pelit dan tamak, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah juga tidak menyukai qiila wa qaala, banyak bertanya dan membuang-membuang harta” (HR. Bukhari – Muslim).

Wallahu ‘alam bis shawab.

***

Referensi: Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Alasan Kenapa Kedudukan Ibu Lebih Utama dalam Islam

Kita sudah memahami bersama mengenai wajibnya dan pentingnya berbakti kepada kedua orang tua1. Kemudian setelah itu, ketahuilah bahwa jika kita melihat dalil-dalil, kita temukan bahwa kedudukan ibu lebih utama.

Dalil-dalil mengenai lebih utamanya kedudukan ibu

Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut:

Dalil 1

Dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi:

يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ

“wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan).

Syaikh Fadhlullah Al Jilani, ulama India, mengomentari hadits ini: “ibu lebih diutamakan daripada ayah secara ijma dalam perbuatan baik, karena dalam hadits ini bagi ibu ada 3x kali bagian dari yang didapatkan ayah. Hal ini karena kesulitan yang dirasakan ibu ketika hamil, bahkan terkadang ia bisa meninggal ketika itu. Dan penderitaannya tidak berkurang ketika ia melahirkan. Kemudian cobaan yang ia alami mulai dari masa menyusui hingga anaknya besar dan bisa mengurus diri sendiri. Ini hanya dirasakan oleh ibu” 2.

Al Harits Al Muhasibi juga menukil ijma’ bahwa kedudukan ibu lebih utama dari ayah. Walaupun ada sebagian ulama yang menukil adanya khilaf dalam hal ini. Yaitu sebagian ulama mengatakan kedudukan ayah dan ibu sama, dan ini disandarkan kepada pendapat Imam Malik. Namun insya Allah yang tepat adalah klaim ijma’ karena tegasnya dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut 3.

Dalil 2

Dari Miqdam bin Ma’di Yakrib radhiallahu’ahu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

نَّ اللَّهَ يوصيكم بأمَّهاتِكُم ثلاثًا، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بآبائِكُم، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بالأقرَبِ فالأقرَبِ

“sesungguhnya Allah berwasiat 3x kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat” (HR. Ibnu Majah, shahih dengan syawahid-nya).

Dalil 3

Dari Atha bin Yassar, ia berkata:

عن ابنِ عبَّاسٍ أنَّهُ أتاهُ رجلٌ ، فقالَ : إنِّي خَطبتُ امرأةً فأبَت أن تنكِحَني ، وخطبَها غَيري فأحبَّت أن تنكِحَهُ ، فَغِرْتُ علَيها فقتَلتُها ، فَهَل لي مِن تَوبةٍ ؟ قالَ : أُمُّكَ حَيَّةٌ ؟ قالَ : لا ، قالَ : تُب إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، وتقَرَّب إليهِ ما استَطعتَ ، فذَهَبتُ فسألتُ ابنَ عبَّاسٍ : لمَ سألتَهُ عن حياةِ أُمِّهِ ؟ فقالَ : إنِّي لا أعلَمُ عملًا أقرَبَ إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ مِن برِّ الوالِدةِ

“Dari Ibnu ‘Abbas, ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah ingin melamar seorang wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada orang lain yang melamarnya, lalu si wanita tersebut mau menikah dengannya. Aku pun cemburu dan membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah dan dekatkanlah diri kepadaNya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa anda bertanya kepadanya tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya shahih).

Dan telah dikenal bahwa metode Ibnu Abbas jika dimintai fatwa mengenai kafarah dosa, beliau akan menyarankan dengan amalan yang pahalanya benar-benar seimbang dosa tersebut atau lebih besar pahalanya dari dosa yang ditanyakan, hingga dosa tersebut hilang sama sekali. Selama tidak ada nash khusus mengenai kafarah dosa yang ditanyakan 4. Dan ini menunjukkan bahwa pahala berbakti kepada orang tua terutama kepada ibu itu sangat besar hingga seimbang dan menjadi kafarah dosa membunuh tanpa hak atau bahkan melebihinya sehingga dosa tersebut hilang sama sekali.

Dalil 4

Mengenai kisah Uwais Al Qorni yang sampai-sampai sahabat Nabi sekelas Umar bin Khathab radhiallahu’anhu dan yang lainnya dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menemui Uwais. Hal ini disebabkan begitu hebatnya birrul walidain Uwais terhadap ibunya. Nabi bersabda:

إن خيرَ التابعين رجلٌ يقالُ له أويسٌ . وله والدةٌ . وكان به بياضٌ . فمروه فليستغفرْ لكم

“sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang lelaki bernama Uwais, ia memiliki seorang ibu, dan ia memiliki tanda putih di tubuhnya. Maka temuilah ia dan mintalah ampunan kepada Allah melalui dia untuk kalian” (HR. Muslim).

Dalil 5

Hadits panjang yang dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahih-nya mengenai kisah Juraij. Yang intinya ketika Juraij dipanggil oleh ibunya sedangkan ia sedang shalat, Juraij lebih mementingkan shalatnya dan tidak memenuhi panggilan ibunya. Akhirnya ibunya mendoakan keburukan padanya dan terkabul.

Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan: “Para ulama mengatakan: ‘ini dalil bahwa yang benar adalah memenuhi panggilan ibu, karena Juraij sedang melakukan shalat sunnah. Terus melanjutkan shalat hukumnya sunnah, tidak wajib. Sedangkan menjawab panggilan ibu dan berbuat baik padanya itu wajib, dan mendurhakainya itu haram'”.

Kesimpulannya, dari dalil-dalil ini, para ulama mengatakan:

الأم أحق الناس بحسن الصحبة

“Ibu adalah orang yang paling layak untuk mendapatkan perlakuan yang paling baik”



Pertanyaan: jika opini ibu bertentangan dengan opini ayah, maka siapa yang diambil opininya?

Jika ayah dan ibu memberikan opini kepada anak dan opini mereka saling bertentangan, maka opini siapa yang diambil? Dijawab Syaikh Musthofa Al ‘Adawi: “Yang diambil opininya adalah yang lebih sesuai dengan kebenaran dan lebih dekat kepada ketaqwaan dan ihsan. Adapun jika tidak bisa dibedakan mana opini yang lebih shahih, maka jika perkaranya terkait dengan sikap atau perlakuan baik, maka ibu didahulukan. Adapun jika perkaranya terkait dengan hal umum yang memang bidangnya para lelaki maka opini ayah didahulukan. Wallahu a’lam” 5.

Pertanyaan: jika ayah dan ibu saling berselisih, apa yang semestinya dilakukan anak?

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan: “jika anak mendapati ayah dan ibu saling berselisih, maka wajib baginya untuk mendamaikan keduanya dengan cara yang baik, karena perdamaian itu lebih baik. Dan hendaknya tidak membela salah satunya dengan tangan atau dengan lisan. Yang benar adalah mendamaikannya dengan baik. Allah Ta’ala berfirman:

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al Isra: 23)” 5.

Demikian, semoga yang sedikit ini bermanfaat. Semoga Allah melimpahkan hidayahnya kepada kita semua agar menjadi insan yang berbakti dengan sungguh-sungguh kepada orang tua. Wabillahi at taufiiq was sadaad.

***

Referensi: Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Benarkah Kesombongan Menghalangi Hidayah


Pembaca yang budiman, a’azzaniyallahu wa iyyakum, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengabarkan dalam sebuah hadits bahwa tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya terdapat kesombongan. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “tidak akan masuk surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan”. Lalu ada seorang lelaki dari sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata: “wahai Rasulullah, salah seorang dari kami ingin agar bajunya bagus, demikian pula sandalnya bagus, apakah itu termasuk kesombongan wahai Rasulullah?”. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Adapun kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia“ (HR. Muslim, no.91).

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengabarkan bahwa kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk ke dalam surga. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga menjelaskan hakikat kesombongan, bahwa kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh manusia. Ketika suatu kebenaran telah sampai kepada seseorang, berupa Al Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, kemudian ia menolaknya karena kelebihan yang ia miliki atau kedudukan yang ia miliki. Maka ini menunjukkan adanya kesombongan dalam dirinya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan, sombong itu menolak kebenaran, dan kebenaran itu adalah apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, berupa Al Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Betapa banyak kesombongan yang menyebabkan seseorang terhalang dari kebenaran. Lihatlah iblis la’anahullah, ia tidak mau sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam karena kesombongan yang ada dalam hatinya. Allah Ta’ala berfirman: “ia enggan dan sombong sehingga ia pun termasuk orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah: 34). Lihatlah Fir’aun, ia merasa merasa sombong dengan kelebihannya, ia merasa sombong dengan kedudukan yang ia miliki. Sehingga ia menolak dakwah yang disampaikan Nabi Musa ‘alaihisshalatu was salam. “Kami utus Musa dan Harun kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya, dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami, maka mereka menyombongkan diri dan mereka adalah orang-orang yang berdosa” (QS. Yunus: 75). Maka lihatlah wahai saudaraku, orang yang bersombong diri biasanya ia tidak bisa mendapatkan hidayah dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala.

Dan Subhaanallah… dalam hadits ini seorang sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, “wahai Rasulullah, salah seorang dari kami ingin agar bajunya bagus, demikian pula sandalnya bagus, apakah itu termasuk kesombongan?”. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam seakan mengatakan, “itu bukan kesombongan, Allah itu indah dan mencintai keindahan”. Artinya pakaian yang bagus bukan termasuk kesombongan sama sekali, bahkan itu suatu hal yang dicintai oleh Allah karena menunjukkan keindahan sebagai suatu nikmat yang diberikan oleh Allah. Bahkan memperlihatkan kenikmatan adalah bentuk rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka melihat tampaknya bekas nikmat Allah pada diri hamba-Nya” (HR. Tirmidzi, no.2819. Ia berkata: “hasan”, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’).

Akan tetapi kesombongan itu ketika seseorang menolak kebenaran atau ia menganggap remeh orang lain. Baik karena orang yang ia remehkan itu miskin atau ia lebih rendah derajatnya dalam masalah ilmu dan amalan shalih. Saudaraku, dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “cukuplah bagi seseorang itu keburukan, ia menganggap remeh Muslim yang lain” (HR. Muslim, no.2564).

Terkadang misalnya kita orang yang memiliki kekayaan, dan punya kelebihan. Ketika kita melihat orang miskin yang tidak punya kekayaan, kita pandang dia dengan pandangan yang remeh sekali. Ini lah bentuk meremehkan orang. Atau misalnya orang yang memiliki kedudukan, mungkin Bupati, presiden, atau camat, ketika melihat orang biasa atau rakyat jelata ia merasa dirinya punya kelebihan, lalu ia pun bersombong diri. Atau misalnya kita diberi kelebihan berupa amalan shalih, terkadang ketika melihat orang yang amalan shalihnya kurang, kita merasa memiliki kelebihan dan melecehkan dia. Terkadang juga kita merasa punya kelebihan ilmu, punya titel yang tinggi, ketika melihat orang yang lebih rendah titelnya, dalam diri kita terasa ada sesuatu perasaan lebih baik dari dia. Inilah sebenarnya benih-benih kesombongan.

Terlebih ketika ada orang yang menasehati kita adalah orang yang lebih muda dari kita atau orang yang tidak lebih berilmu dari kita. Terkadang kesombongan dan keangkuhan muncul di hati kita sehingga kita enggan untuk menerima nasehat-nasehatnya. Ini juga merupakan fenomena kesombongan. Dan bukankah seorang Mukmin yang sejati itu senantiasa menerima nasehat? Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Berilah peringatan! Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat: 55).

Dan subhaanallah, ini sangat menakutkan sekali. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “tidak akan masuk surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan”. Hanya sebesar biji sawi dari kesombongan, ternyata menyebabkan kita tidak masuk surga.

Ikhwati fillah rahimaniy wa rahimakumullah, sudah menjadi kewajiban kita untuk menyadari bahwa apa yang Allah berikan kepada kita berupa kelebihan-kelebihan baik itu kekayaan, kedudukan, hakikatnya adalah pemberian dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Orang kaya hendaknya sadar, kekayaan itu datangnya dari Allah. Orang yang mempunyai kedudukan hendaknya sadar, bahwa kedudukan itu adalah amanah di sisi Allah yang akan dimintai pertanggung-jawabannya. Bukan untuk disombongkan sama sekali. Orang yang berilmu segera sadar bahwa ilmunya itu bukan untuk disombongkan, tapi untuk menjadikan ia lebih tawadhu dan lebih takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang beramal shalih, banyaknya amal shalih, bukan untuk dibanggakan dan disombongkan. Akan tetapi untuk membuat ia lebih dekat kepada Allah.

Maka, saudaraku a’azzaniyallah waiyyakum, orang yang sombong itu pada hakikatnya tidak menyadari jati dirinya, tidak menyadari siapa dia sebenarnya. Bahwa dia hakikatnya adalah seorang hamba, hamba yang tidak punya dan tidak memiliki apa-apa. Dia faqir kepada Allah, faqir kepada rahmat-Nya dan karunia-Nya. Lalu untuk apa ia menyombongkan diri dengan segala kelebihannya sementara pada hakikatnya ia tidak memiliki apapun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Kalian adalah fakir kepada Allah. Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Fathir: 15).

Saudaraku, terkadang penting sekali untuk melihat bagaimana pemberian Allah kepada kita dan kekuasaan Allah yang berikan kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan alam semesta yang begitu luar biasa, keindahan alam yang luar biasa, semua itu milik Allah. Allah menciptakan tubuh kita dengan bentuk yang indah, Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan bagi kita berbagai macam harta dan kebutuhan, jika seorang hamba menyadari semua ini saya yakin ia akan ber-tawadhu’ (rendah diri). Dan tawadhu’ itu adalah akhlak yang sangat agung. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Ibadurrahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu’) dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63). Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “tidaklah salah seorang di antara kalian ber-tawadhu kecuali Allah akan meninggikannya derajatnya” (HR. Muslim, no.2588).

Bahkan manusia sendiri pun tidak suka kepada orang yang sombong. Ketika kita melihat ada orang yang angkuh, pasti kita tidak suka. Tapi ketika kita melihat orang yang tawadhu, yang tidak menonjolkan kelebihannya di hadapan orang, bahkan ia merasa takut kalau Allah mengadzabnya sekonyong-konyong, itu adalah orang yang Allah jadikan kecintaan kepada dia di hati-hati para hamba karena sikap tawadhu’-nya tersebut.

Maka dari itu saudaraku, jika kita diberi Allah Subhanahu wa Ta’ala kelebihan, berhati-hatilah. Segera introspeksi diri, segera periksa hati kita. Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita kekayaan, kedudukan, atau kelebihan dalam beramal shalih, segera periksa hati kita jangan sampai itu menimbulkan kesombongan yang menyebabkan kita terhalang masuk ke dalam surga.

Washalatu wassalamu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmain.

***

Ust. Badrusalam, Lc., dinukil dari buletin Al Hikmah edisi 3-27, yang diterbitkan Radio Rodja

Artikel Muslim.or.id