Haruskah Keburukan Orang Lain Dibalas


Dalam kehidupan sehari-hari, Pasti ada saja orang-orang yang membenci kita, orang-orang yang zholim , orang-orang yang melakukan hal-hal buruk, baik berupa hinaan, cacian, dan semacamnya.

Bagaimanakah seharusnya sikap kita terhadap mereka ini?

Allah Ta’ala berfirman :

ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ

“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat : 34).

Penjelasan dari ayat di atas adalah sebagaimana berikut…

Jika seseorang melakukan keburukan terhadapmu, terlebih khusus lagi jika mereka adalah kerabat-kerabatmu, sahabat-sahabatmu, mereka berbuat buruk kepadamu, baik melalui lisan mereka maupun perbuatan mereka, maka balaslah mereka dengan kebaikan. Jika mereka memutus silaturahmi denganmu, maka sambunglah kembali silaturahmi tersebut. Jika mereka berbuat zholim kepadamu, maka maafkanlah.

Jika mereka menjelek-jelekkanmu, di belakang maupun di hadapanmu, maka jangan engkau jelek-jelekkan mereka kembali, bahkan maafkanlah mereka, dan balas mereka dengan perkataan yang lembut. Jika mereka mengacuhkanmu, tidak mau berbicara denganmu, maka mulailah salam kepada mereka, sapalah mereka dengan baik.

Niscaya jika engkau telah melakukan itu semua, suatu saat nanti mereka akan berbalik menyukaimu, yang sebelumnya memusuhimu, berbalik menjadi teman setiamu.

Sesungguhnya hati manusia ada di antara jari-jariNya, Dialah yang membolak-balikkan hati manusia sesuai kehendakNya. Sangatlah mudah bagi Allah untuk mengubah benci menjadi cinta ataupun sebaliknya.

Inilah janji Allah dalam FirmanNya, namun sayang beribu sayang, seringkali gengsi kita mengalahkan itu semua, sehingga terlewatilah nasihat dari langit ini untuk kita amalkan.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang selalu berusaha menerapkan Al-Quran dalam kehidupan kita sehari-hari.

***

Disarikan dari Tafsir Surat Fussilat ayat 34 kitab Taisir Kariimirrahman  oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dan Syarah Riyadush Shalihin oleh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin dengan beberapa penambahan

Penulis: Boris Tanesia

Artikel Muslim.or.id

Kenapa Muslim Taat Harus Gemar Memakmurkan Masjid


Allah Ta’ala berfirman:

{مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ. إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ}

“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain Allah, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang selalu mendapat petunjuk (dari Allah Ta’ala)” (QS At-Taubah: 18).

Ayat yang mulia ini menunjukkan besarnya keutamaan memakmurkan masjid yang didirikan karena Allah Ta’ala, dalam semua bentuk pemakmuran masjid, bahkan perbuatan terpuji ini merupakan bukti benarnya iman dalam hati seorang hamba.

Imam al-Qurthubi berkata: “Firman Allah Ta’ala ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa mempersaksikan orang-orang yang memakmurkan masjid dengan keimanan adalah (persaksian yang) benar, karena Allah Ta’ala mengaitkan keimanan dengan perbuatan (terpuji) ini dan mengabarkan tentanganya dengan menetapi perbuatan ini. Salah seorang ulama Salaf berkata: Jika engkau melihat seorang hamba (yang selalu) memakmurkan masjid maka berbaiksangkalah kepadanya”1.

Ada hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menyebutkan hal ini, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (5/12 dan 277), Ibnu Majah (no. 802), Ahmad (3/68 dan 76) dan al-Hakim (1/322 dan 2/363) dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jika engkau melihat seorang hamba yang selalu mengunjungi masjid maka persaksikanlah keimanannya”, kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membaca ayat tersebut di atas.

Akan tetapi hadits ini lemah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Darraj bin Sam’an Abus samh al-Mishri, dia meriwayatkan hadits ini dari Abul Haitsam Sulaiman bin ‘Amr al-Mishri, dan riwayatnya dari Abul Haitsam lemah, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu hajar al-‘Asqalani2.

Hadits ini dinyatakan lemah oleh Imam adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani karena rawi di atas3.

Karena hadits ini lemah, maka tentu tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dan argumentasi yang menunjukkan keutamaan di atas, tapi cukuplah firman Allah Ta’ala di atas dan hadits-hadits lain yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menunjukkan keutamaan tersebut.

Misalnya, hadits riwayat Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy)-Nya pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya… (di antaranya): Seorang hamba yang hatinya selalu terikat dengan masjid”4.

Imam an-Nawawi berkata: “Artinya: dia sangat mencintai masjid dan selalu menetapinya untuk melaksanakan shalat berjamaah”5.

Hakikat memakmurkan masjid

Makna memakmurkan masjid adalah menetapinya untuk melaksanakan ibadah di dalamnya dalam rangka mencari keridhaan-Nya, misalnya shalat, berdzikir kepada Allah Ta’ala dan mempelajari ilmu agama. Juga termasuk maknanya adalah membangun masjid, menjaga dan memeliharanya6.

Dua makna inilah yang diungkapkan oleh para ulama Ahli tafsir ketika menafsirkan ayat dia atas. Imam Ibnul Jauzi berkata: “Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid (dalam ayat di atas) ada dua pendapat:

Selalu mendatangi masjid dan berdiam di dalamnya (untuk beribadah kepada Allah Ta’ala)
Membangun masjid dan memperbaikinya”7.
Maka hakikat memakmurkan masjid adalah mencakup semua amal ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala yang diperintahkan atau dianjurkan dalam Islam untuk dilaksanakan di masjid.

Oleh karena itu, tentu saja shalat berjamaah lima waktu di masjid bagi laki-laki adalah termasuk bentuk memakmurkan masjid, bahkan inilah bentuk memakmurkan masjid yang paling utama.

Imam Ibnu Katsir menukil dengan sanad beliau ucapan shahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata: “Barangsiapa yang mendengar seruan adzan untuk shalat (berjamaah) kemudian dia tidak menjawabnya dengan mendatangi masjid dan shalat (berjamaah), maka tidak ada shalat baginya dan sungguh dia telah bermaksiat (durhaka) kepada Allah dan Rasul-Nya”. Kemudian ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu membaca ayat tersebut di atas8.

Sebaliknya, semua perbuatan yang bertentangan dengan petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, meskipun dihadiri oleh banyak orang dan menjadikan masjid penuh dan ramai, maka semua ini tidaklah termasuk memakmurkan masjid. Seperti pelaksanaan acara-acara bid’ah9 yang dilakukan di beberapa masjid kaum muslimin oleh orang-orang yang jahil, apalagi jika dalam acara tersebut terdapat unsur kesyirikan (menyekutukan Allah Ta’ala) dan hal-hal yang bertentangan dengan aqidah Islam yang lurus.

Imam Ibnu Katsir berkata: “Bukanlah yang dimaksud dengan memakmurkan masjid-masjid Allah hanya dengan menghiasi dan mendirikan fisik (bangunan)nya saja, akan tetapi memakmurkannya adalah dengan berdzikir kepada Allah dan menegakkan syariat-Nya di dalamnya, serta membersihkannya dari kotoran (maksiat) dan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala)”10.

Demikian pula, perbuatan yang dilakukan oleh sebagian dari orang-orang awam ketika mendirikan masjid, dengan berlebih-lebihan menghiasi dan meninggikannya, sehingga mengeluarkan biaya yang sangat besar, bukan untuk memperluas masjid sehingga bisa menampung jumlah kaum muslimin yang banyak ketika shalat berjamaah, tapi hanya untuk menghiasi dan mempertinggi bangunan fisiknya.

Perbuatan ini jelas-jelas bertentangan dengan petunjuk Allah Ta’ala yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam, sebagaimana yang dinyatakan dalam beberapa hadits shahih berikut:

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah terjadi hari kiamat sampai manusia berbangga-bangga dengan masjid”11.

Arti “berbangga-bangga dengan masjid” adalah membanggakan indahnya bangunan, hiasan, ukiran dan tinggi bangunan masjid, supaya terlihat lebih indah dan megah dibandingkan dengan masjid-masjid yang lain12.

Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan ini diharamkan dalam Islam karena perbuatan ini dikaitkan dengan keadaan di akhir jaman sebelum terjadinya hari kiamat, yang waktu itu tersebar berbagai macam kerusakan dan keburukan, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits shahih lainnya13.

Dalam hadits lain, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Aku tidak diperintahkan untuk menghiasi (atau meninggikan bangunan) masjid (secara berlebihan)”. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu berkata: (Artinya) menghiasinya seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani menghiasi (tempat-tempat ibadah mereka)14.

Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut di atas haram hukumnya dalam Islam, karena menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashrani dan ini dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk (bagian) dari mereka”15.

Bahkan perbuatan ini bertentangan dengan petunjuk sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan termasuk bid’ah, ditambah lagi dengan pemborosan harta untuk biaya hiasan dan peninggian bangunan tersebut, serta hilangnya kekhusyu’an dalam ibadah akibat dari hiasan-hiasan yang melalaikan hati tersebut, padahal khusyu’ adalah ruh ibadah16.

Berdasarkan keterangan di atas, maka yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam mendirikan masjid adalah memilih yang sederhana dalam bangunan dan hiasan masjid.

Imam Ibnu Baththal dan para ulama lain berkata: “Dalam hadits di atas terdapat dalil (yang menunjukkan) bahwa (yang sesuai dengan) sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam mendirikan masjid adalah (bersikap) sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam menghiasinya. Sungguh ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu’anhu di jaman (kekhalifahan) beliau, meskipun banyak negeri musuh yang ditaklukkan dan ada kelapangan harta, tapi beliau radhiallahu’anhu tidak merubah Masjid Nabawi dari keadaannya semula… Lalu di jaman (kekhalifahan) ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu yang waktu itu harta lebih banyak, tapi beliau radhiallahu’anhu hanya memperindah (menambah luas) Masjid Nabawi tanpa menghiasinya (secara berlebihan)”17.

Bercermin pada Masjidil haram dan Masjid Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

Sebaik-baik masjid yang ada di muka bumi ini adalah dua masjid yang berada di dua kota suci dan paling dicintai oleh Allah Ta’ala, yaitu Mekkah dan Madinah.

Masjidul haram dan Masjid Nabawi adalah dua masjid yang paling dirindukan oleh orang-orang yang beriman dan paling pantas untuk dimakmurkan dengan berbagai macam ibadah yang disyariatkan dalam Islam, seperti thawaf dan sa’i ketika melaksanakan ibadah haji atau ‘umrah di Masjidil haram, melaksanakan shalat di kedua masjid tersebut, dan ibadah-ibadah agung lainnya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu (kali) shalat di masjid lain kecuali Masjidil haram”18. Dalam riwayat lain dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu’anhu ada tambahan: “… Dan shalat di Masjidil haram lebih utama daripada seratus seribu (kali) shalat di masjid lain”19.

Bahkan kerinduan untuk mengunjungi dan memakmurkan dua masjid mulia ini merupakan bukti benarnya iman yang ada di hati seorang hamba.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya iman akan selalu kembali (berkumpul) di kota Madinah sebagaimana ular yang selalu kembali ke lubang (sarang)nya”20. Dalam riwayat lain dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “… Agama Islam akan selalu kembali (berkumpul) di dua masjid (Masjidul haram dan Masjid Nabawi) sebagaimana ular yang selalu kembali ke lubang (sarang)nya”21.

Khusus yang berhubungan dengan “memakmurkan masjid”, sebagian dari para ulama mengatakan bahwa ibadah ‘umrah secara bahasa asalnya diambil dari kata “memakmurkan Masjidil haram”22, ini menunjukkan bahwa masjid inilah yang paling pantas untuk selalu dikunjungi dan dimakmurkan dengan ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam Islam.

Dan memang pada kenyataannya, dari dulu sampai sekarang, kedua masjid inilah yang selalu menjadi teladan dalam ‘kemakmuran masjid’ karena banyaknya kegiatan-kegiatan ibadah agung yang dilaksanakan di dalamnya. Seperti maraknya majelis ilmu yang bermanfaat di beberapa tempat di dalam dua masjid tersebut, dengan nara sumber para ulama yang terpercaya dalam ilmu mereka. Demikian pula halaqah-halaqah tempat para penghafal al-Qur’an maupun orang-orang yang belajar membacanya dengan benar, di hampir setiap sudut masjid. Belum lagi kegiatan ibadah seperti shalat-shalat sunnah, berdzikir kepada Allah Ta’ala, membaca al-Qur’an hanya marak dilakukan di siang dan malam hari, dalam rangka mencari keutamaan yang berlipat ganda yang Allah Ta’ala khususkan bagi dua masjid mulia ini.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini, tidak lain kecuali untuk mempelajari atau mengamalkan kebaikan maka dia akan mendapatkan kedudukan seperti orang yang berjihad di jalan Allah”23.

Khususnya di Masjidil haram, kegiatan ibadah thawaf dan sa’i yang bisa dikatakan tidak pernah terputus dilakukan, baik ketika musim haji ataupun di waktu lain untuk ‘umrah. Bahkan kegiatan thawaf sunnah hanya terhenti ketika dikumandangkan iqamah untuk pelaksanaan shalat berjamaah lima waktu.

Bagi orang yang pernah melaksanakan ibadah ‘umrah dan mengunjungi dua masjdi tersebut di bulan Ramadhan, tentu akan selalu terkenang dengan sifat dermawan yang ditunjukkan di dua masjid tersebut, utamanya di Masjid Nabawi, berupa suguhan berbagai macam makanan lezat untuk berbuka puasa yang memenuhi seluruh masjid dari depan sampai belakang, mulai dari kurma, air zam-zam, roti, yogurt, Haisah24 dan lain-lain. Khusus untuk di halaman Masjid, makanan berupa nasi ‘Arab denga lauk ayam bakar, daging kambing dan lain-lain.

Bahkan lebih dari itu, para penyedia makanan untuk berbuka puasa tersebut menugaskan beberapa orang, biasanya anak-anak kecil, untuk memanggil dan membujuk orang-orang yang berada di masjid tersebut atau orang-orang yang lewat untuk bersedia berbuka puasa di tempat yang mereka sediakan.

Subhanallah! Mereka benar-benar ingin mengamalkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang memberi makan orang lain untuk berbuka puasa maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun”25.

Dan masih banyak kegiatan-kegiatan ibadah agung lain yang marak terlihat di dua masjid mulia ini dan tentu tidak bisa dipaparkan semua.

Masjid yang tidak boleh dimakmurkan bahkan wajib dijauhi dan dihancurkan

Allah Ta’ala berfirman:

{وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ. لا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ}

“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan keburukan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu/membantu kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sungguh bersumpah: “Kami tidak meng-hendaki selain kebaikan”, dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pen-dusta. Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya!” (QS At-Taubah: 107-108).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan keberadaan masjid-masjid yang didirikan untuk tujuan yang buruk dan bukan untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala. Inilah yang disebut sebagai “Masjid dhirar”.

Maka Allah Ta’ala melarang Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam dan seluruh umat Islam untuk shalat di masjid seperti itu selama-lamanya26.

Inilah masjid yang tidak boleh dikunjungi dan dimakmurkan bahkan wajib dijauhi dan dihancurkan27, karena didirikan untuk tujuan yang buruk, seperti memecah belah kaum muslimin, menyebarkan ajaran sesat dan amalan bid’ah, serta tujuan-tujuan buruk lainnya28.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Termasuk dalam kandungan (ayat) di atas adalah orang yang mendirikan bangunan yang menyerupai masjid-masjid kaum muslimin, (tapi) bukan untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang disyariatkan (dalam Islam), seperti kuburan-kuburan yang dikeramatkan dan lain-lain. Terlebih lagi jika di dalamnya terdapat keburukan, kekafiran, (upaya) memecah belah kaum mu’minin, tempat yang disediakan untuk orang-orang munafik dan ahli bid’ah yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hal-hal yang mendukungnya. Maka bangunan (masjid) ini serupa dengan “Masjid dhirar”29.

Penutup

Semoga Allah Ta’ala menjadikan tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk selalu bersegera dalam kebaikan dalam rangka mencari keridhaan-Nya.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia Ta’ala menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu memakmurkan masjid-masjid Allah Ta’ala dan meraih kesempurnaan iman dengan taufik-Nya. Sesungguhnya Dia Ta’ala maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 6 Muharram 1437 H

***

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim, Lc., MA.

Artikel Muslim.or.id

______

1 Kitab “Tafsir al-Qurthubi” (8/83).

2 Dalam kitab “Taqriibut tahdziib” (hlmn 201).

3 Lihat kitab “Tamaamul minnah” (hlmn 291-292).

4 HSR al-Bukhari (no. 1357) dan Muslim (no. 1031).

5 Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam “Syarah shahih Muslim” (7/121).

6 Lihat kitab “Aisarut tafaasiir” (2/66).

7 Kitab “Zaadul masiir” (3/408).

8 Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (2/449).

9 Yaitu semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

10 Kitab “Tafsir Ibni Katsir” (1/216).

11 HR Ahmad (3/134), Abu dawud (no. 449), Ibnu Khuzaimah (2/282), Ibnu Hibban (4/493) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, as-Suyuthi dan Syaikh al-Albani (Shahiihul jaami’ no. 7421).

12 Lihat kitab “’Aunul Ma’buud” (2/84) dan “Taudhiihul ahkaam” (2/137).

13 Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdullah al-Bassam dalam kitab “Taudhiihul ahkaam” (2/138).

14 HR Abu dawud (no. 448) dan Ibnu Hibban (4/493) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban, as-Suyuthi dan Syaikh al-Albani (Shahiihul jaami’ no. 5550).

15 HR Abu dawud (no. 4031) dan Ahmad (2/50), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.

16 Lihat kitab “Taudhiihul ahkaam” (2/139-140).

17 Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab “Fathul Baari” (1/540).

18 HSR al-Bukhari (1/398) dan Muslim (no. 1394).

19 HR Ahmad (3/343) dan Ibnu Majah (no. 1406), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.

20 HSR al-Bukhari (2/663) dan Muslim (no. 147).

21 HSR Muslim (no. 146).

22 Lihat kitab “Fathul Baari” (3/597).

23 HR Ahmad (3/343) dan Ibnu Majah (no. 1406), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.

24 Makanan khas ‘Arab yang terbuat dari campuran dan adonan kurma kering, tepung, keju dan minyak samin (lihat kitab “’Aunul Ma’buud” 13/260).

25 HR Ibnu Majah (no. 227), dinyatakan shahih oleh Imam al-Bushiri dan Syaikh al-Albani.

26 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/510).

27 Lihat kitab “Majmu’ul fataawa” (27/140 dan kitab “Zaadul ma’aad” (3/480).

28 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi tafsiiri kalaamin Mannaan” (hlmn 351).

29 Kitab “Iqtidhaa-ush shiraathil mustaqiim” (1/431).

Cara Menyampaikan Cinta Kepadanya Menurut Islam


Sesungguhnya ajaran Islam merupakan ajaran yang penuh kasih sayang. Tidak ada ajaran manapun yang melebihi kasih sayang dalam ajaran Islam. Bagaimana tidak? Sementara dalam Islam diajarkan bahwa semua pemeluk agama Islam itu bersaudara. Satu sama lain memiliki hubungan ukhuwah. Mereka dipersatukan oleh kalimat tauhid yang kokoh. Selain itu, sesama umat Islam dianggap sama di hadapan Allah Ta’ala. Karenanya Islam tidak mengenal istilah kasta. Mereka yang duduk di atas kursi kepemimpinan dengan mereka yang berada di bawah terik matahari bercocok tanam sama di sisi Allah. Mereka yang memiliki istana mewah sama kedudukannya dengan mereka yang hanya bertinggal di bawah kolong jembatan. Semuanya sama. Tak ada bedanya.

Tidak sampai di situ, persaudaraan dalam Islam dianggap suatu urgensitas kekuatan. Apalagi di saat kondisi musuh mengepung dari segala penjuru, seperti yang terjadi di zaman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tatkala kaum kuffar bersepakat untuk memburu kaum muslimin. Siksa demi siksa terus diarahkan kepada siapa pun yang memeluk Islam. Karenanya, Allah Ta’ala memerintahkan supaya kaum muslimin bersatu. Baik bersatu dalam pendapat maupun tempat. Akhirnya hijrah pun disyariatkan. Mereka yang masih tinggal di Makkah diperintahkan supaya berhijrah ke Madinah untuk berkumpul bersama saudara-saudara seiman mereka di sana demi tercapainya tujuan yang mulia.

Bahkan Allah sampai mengancam orang yang enggan melakukan hijrah dari negeri kufur ke negeri Islam bukan karena alas an syar’i. hal ini tercermin dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا فَأُولَٰئِكَ عَسَى اللَّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS: An-Nisa: 97-99).

Demikianlah, persatuan umat Islam yang diperlukan dalam setiap kondisi. Terkait persaudaraan sesama muslim, Allah Ta’ala menegaskan,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS: Al-Hujarat: 10).

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره بحسب امرىء من الشر أن يحقر أخاه المسلم

“Seorang muslim itu bersaudara dengan muslim lainnya. Ia tidak boleh menganiayanya, menelantarkannya, dan meremehkannya. Orang yang merendahkan saudaranya semislam itu sudahlah dianggap sebagai orang yang buruk perangainya” (HR Muslim).

Dalam hadits lain, beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– juga bersabda,

لا يؤمن أحدكم حتى يحبَّ لأخيه ما يحب لنفسه

“Iman salah seorang kalian tidaklah sempurna sampai ia mencintai pada apa yang ada pada saudaranya persis seperti ia mencintai sesuatu yang ada pada dirinya sendiri”

Dalam Shahih Al-Bukhari, ketika Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– hendak meminang ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha– dari bapaknya, Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhu-, Abu Bakar –antara lain- mengatakan pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Aku ini hanyalah saudaramu”. “Engkau adalah saudaraku menurut agama Allah dan kitab-Nya, sedangkan ‘Aisyah halal untuk diriku”.

Pada kesempatan lain, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menyatakan:

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, berbelas kasih sesame mereka itu bagaikan satu jasad yang apabila ada anggota badan itu ditimpa sakit, maka seluruh anggota badan lain akan merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam”.

Oleh karena hal tersebut, sehingga tidaklah heran manakala Allah Ta’ala mensyariatkan orang-orang Islam yang masih hidup untuk mendoakan suadara-saudara merek ayang sudah meninggal.

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS: Al-Hasyr: 10).

Di samping itu, terkadang keakraban seorang muslim dengan saudaranya itu akan lebih erat ketika masing-masing merasa diperhatikan oleh saudaranya itu. dengan demikian orang akan merasa kuat dan tegar dalam segala keadaan karena Allah telah mengiriminya saudara yang siap membantunya kapan pun. Dengan itulah orang-orang mukmin terlihat kokoh dan perkasa di hadapan orang-orang kafir sehingga mereka disegani dan dipandang.

Dari situ maka termasuk hal yang sunnah dalam persaudaraan seiman ialah menyampaikan perasaan cinta itu kepada orang yang dicintainya.

Mengenai hikmah dibalik itu, Al-Munawi mengatakan, “Hal tersebut akan melanggengkan keakraban dan mengokohkan rasa cinta. Dengannya kecintaan akan bertambah dan berlipat, menyatukan suara serta pendapat di antara sesame orang Islam, dan menggugurkan kerusakan serta dendam kesumat. Ini merupakan bagian dari keindahan syariat Islam” (Faidhul Qadir I/357).

Sebelumnya beliau menjelaskan bahwa apabila ia memberinya tahu tentang perasaan cintanya itu, maka hatinya kan lebih condong dan akan diperolehlah rasa kasihsayang. Karena apabila ia mengetahui bahwa ia mencintainya sebelum ia memberinya nasehat tentang kekeliruannya supaya dapat ditinggalkannya, ia tak akan menolak. Sehingga keberkahan dapat diperoleh di situ.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya, “Ada seseorang yang bersanding dengan Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Lantas lewatlah seseorang. Orang yang di saniding Nabi tadi pun berkata, “Sejatinya aku mencintai orang ini”.

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun bertanya, ‘Sudahkah engkau beri tahu dia?’

Ia menjawab, ‘Belum’.

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, ‘Kalau begitu berilah dia tahu’”.

Anas menceritakan, “Maka orang tadi pun mengejarnya seraya berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.”

Ia menimpali, ‘Semoga Dzat yang telah membuatmu mencintaiku, mencintaimu’” (HR Abu Dawud).

Dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abu Dzar –radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya ia mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

إِذَا أَحَبَّ أَحَدَكُمْ صَاحِبَهُ ، فَلْيَأْتِهِ فِي مَنْزِلِهِ ، فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ لِلهِ

“Apabila salah seorang kalian mencintau rekannya, seyogyanya ia mendatanginya di rumahnya dan memberinya tahu bahwa ia mencintainya karena Allah”.

Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad meriwayatkan dari Mujahid, katanya, “Salah seorang shahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pernah menjumpaiku. Ia meraih pundakku dari belakang seraya bertutur, “Sesungguhnya aku mencintaimu”. Ia berkata, ‘Semoga engkau dicintai Dzat yang telah membuatmu mencintaiku’. Ia berkata pula, ‘Kalaulah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pernah bersabda,

إذا أحب الرجل الرجل فليخبره أنه يحبه

“Apabila seseorang mencintai orang lain, hendaknya ia memberinya tahu bahwa ia mencintainya, tentulah aku tidak akan memberimu tahu”.

Mujahid berkata, “Beliau pun mulai menawariku untuk melamar seseorang. Katanya, ‘Sesungguhnya ada di tengah-tengah kami budak wanita. Namun ketahulah bahwa dia itu bermata sebelah’”.

Dikisahkan dari Abu Muslim Al-Khaulani –rahimahullah-, kisahnya, “Pernah aku memasuki sebuah masjid di kota Homs. Di dalamnya kujumpai ada sekitar 30 orang yang sudah tua dari kalangan shahabat Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Di tengah mereka terdapat anak muda yang kedua matanya hitam, gigi depannya putih berdiam. Apabila orang-orang bingung terhadap suatu masalah, mereka menghadapnya untuk memecahkan masalah itu.

Aku pun bertanya pada orang yang duduk di sisiku, ‘Siapakah gerangan?’. Jawabnya, ‘Beliau itu Mu’adz bin Jabal’.

Tiba-tiba terpatrilah rasa cintaku padanya dalam hatiku. Aku masih saja berada di tengah mereka sampai bubar. Aku pun lantas bergegas ke masjid. Ternyata Mu’adz bin Jabal tengah mengerjakan shalat menghadap suatu tiang masjid. Beliau terdiam tidak mengajakku berbicara. Aku pun demikian tak mengajakknya berbincang. Aku kerjakan shalat lantas aku duduk duduk dengan beralaskan kainku. Beliau masih duduk terdiam tidak mengajakku berbicara. Aku juga berdiam diri tidak mengajaknya berdialog. Kemudian kukatakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu.’ Beliau menimpali, ‘Kamu mencintaiku karena siapa?’ Kataku, ‘Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala.’ Beliau pun mengambil kainku dan menarikku kepadanya sebentar. Beliau berkata, ‘Kalau kamu jujur, maka selamat! Sebab aku telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,

المتحابون في جلالي لهم منابر من نور ، يغبطهم النبيون و الشهداء

“Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang membuat para nabi dan orang yang mati syahid iri pada mereka”.

Abu Muslim mengisahkan, “Aku keluar dan berjumpa dengan ‘Ubadah bin Ash-Shamid –radhiyallahu ‘anhu-. Kataku, ‘Wahai Abul Walid (sapaan ‘Ubadah), maukah aku ceritakan padanmu tentang apa yang telah diceritakan Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu– terkait orang-orang yang saling mencintai?’

Jawabnya, ‘Aku akan menceritakan padamu dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang diriwayatkannya dari Rabb Ta’ala’. Dia berfirman,

حقت محبتي للمتحابين في ، و حقت محبتي للمتباذين في ، و حقت محبتي للمتواصلين في

“Orang yang saling mencintai karena diri-Kuberhak memperoleh cinta-Ku, orang yang saling memberi bantuan berhak mendapatkan cinta-Ku, dan orang-orang yang saling menyambung (kekerabatan) berhak Kucintai” (HR At-Tirmidzi).

Sekarang timbul pertanyaan, bolehkan menyampaikan ungkapan semacam ini pada wanita bukan mahram?

Al-‘Allamah ‘Abdurrauf Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir (I/247) ketika menjelaskan hadits:

إذا أحب أحدكم عبدا قليخبره فإنه يجد مثل الذي يجد له

“Apabila salah seorang kalian mencintai seseorang, hendaklah ia memberinya tahu. Sebab, sesungguhnya ia merasa seperti apa yang dirasakannya”.

Katanya, “Maksudnya ialah seseorang dari kalangan orang-orang muslim, kerabat maupun lainnya, laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi ini ditaqyidkan dalam pada itu jika wanita tersebut ialah isteri atau mahramnya”.

Dalam As-Siraj Al-Munir (I/79), ‘Ali bin Ahmad Al-‘Azizi menulis, “Yang dimaksud dengan saudara di sini ialah seseorang, laki maupun perempuan. Penempatannya, jika laki-laki mengucapkan pada laki-laki, dan apabila perempuan mengucapkan pada perempuan. Atau laki-laki mengucapkan pada wanita mahramnya atau isterinya jika itu wanita bukan mahram”.

Adapun hikmah dibalik larangan mengungkapkan rasa cinta pada wanita yang bukan mahram ialah agar tidak terbelenggu dalam fitnah. Apalagi jika yang mengucapkan adalah pria muda kepada wanita remaja. Karena pada prinsipnya, cinta pada wanita itu hanya terjadi pada isteri dan mahram. Sementara kepada wanita asing yang bukan mahram, pintu komunikasi harus benar-benar ditutup, tidak boleh dibiarkan terbuka menganga.

***

Penulis: Firman Hidayat bin Marwadi

Artikel Muslim.or.id

Dosa Besar Jika Durhaka Pada Orang Tua


Setelah kita mengetahui dalil-dalil yang memerintahkan kita untuk birrul walidain (berbakti kepada orang tua)1, sekarang kita membahas kebalikannya yaitu durhaka kepada orang tua. Sebagaimana tingginya keutamaan dan urgensi birrul walidain, maka konsekuensinya betapa besar dan bahayanya hal yang menjadi kebalikannya yaitu durhaka kepada orang tua.

Bahkan durhaka kepada orang tua adalah dosa besar. Ini secara tegas dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

أكبرُ الكبائرِ : الإشراكُ بالله ، وقتلُ النفسِ ، وعقوقُ الوالدَيْنِ ، وقولُ الزورِ . أو قال : وشهادةُ الزورِ
“dosa-dosa besar yang paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, dan perkataan dusta atau sumpah palsu” (HR. Bukhari-Muslim dari sahabat Anas bin Malik).

Dalam hadits Nafi’ bin Al Harits Ats Tsaqafi, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ألا أنبِّئُكم بأكبرِ الكبائرِ . ثلاثًا ، قالوا : بلَى يا رسولَ اللهِ ، قال : الإشراكُ باللهِ ، وعقوقُ الوالدينِ
“maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya ini 3x. Para sahabat mengatakan: tentu wahai Rasulullah. Nabi bersabda: syirik kepada Allah dan durhaka kepada orang tua” (HR. Bukhari – Muslim).

Ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkali-kali memperingatkan para sahabat mengenai besarnya dosa durhaka kepada orang tua. Subhaanallah!.

Dan perhatikan, sebagaimana perintah untuk birrul walidain disebutkan setelah perintah untuk bertauhid, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” (QS. An Nisa: 36). Maka di hadits ini dosa durhaka kepada orang tua juga disebutkan setelah dosa syirik. Ini menunjukkan betapa besar dan fatalnya dosa durhaka kepada orang tua.

Namun perlu di ketahui, sebagaimana dosa syirik itu bertingkat-tingkat, dosa maksiat juga bertingkat-tingkat, maka dosa durhaka kepada orang tua juga bertingkat-tingkat.

Durhaka kepada ibu, lebih besar lagi dosanya

Sebagaimana kita ketahui dari dalil-dalil bahwa berbuat baik kepada ibu lebih diutamakan daripada kepada ayah, maka demikian juga durhaka kepada ibu lebih besar dosanya. Selain itu, ibu adalah seorang wanita, yang ia secara tabi’at adalah manusia yang lemah. Sedangkan memberikan gangguan kepada orang yang lemah itu hukuman dan dosanya lebih besar dari orang biasa atau orang yang kuat.

Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ حرَّمَ عليكم عقوقَ الأمَّهاتِ ، ومنعًا وَهاتِ ، ووأدَ البناتِ وَكرِه لَكم : قيلَ وقالَ ، وَكثرةَ السُّؤالِ ، وإضاعةَ المالِ
“sesungguhnya Allah mengharamkan sikap durhaka kepada para ibu, pelit dan tamak, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah juga tidak menyukai qiila wa qaala, banyak bertanya dan membuang-membuang harta” (HR. Bukhari – Muslim).

Wallahu ‘alam bis shawab.

***

Referensi: Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Adab Seorang Anak Kepada Orang Tuanya Menurut Islam


Berikut ini beberapa adab yang baik dan akhlak yang mulia kepada orang tua:

1. Tidak memandang orang tua dengan pandangan yang tajam atau tidak menyenangkan

2. Tidak meninggikan suara ketika berbicara dengan orang tua

Dalil kedua ada di atas adalah hadits Al Musawwir bin Makhramah radhiallahu’anhu mengenai bagaimana adab para Sahabat Nabi terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, disebutkan di dalamnya:

وإذا تكَلَّمَ خَفَضُوا أصواتَهم عندَه ، وما يُحِدُّون إليه النظرَ؛ تعظيمًا له

“jika para sahabat berbicara dengan Rasulullah, mereka merendahkan suara mereka dan mereka tidak memandang tajam sebagai bentuk pengagungan terhadap Rasulullah” (HR. Al Bukhari 2731).

Syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan: “setiap adab di atas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa adab-adab tersebut merupakan sikap penghormatan”.

Maka dari hadits ini merendahkan suara dan tidak memandang dengan tajam merupakan akhlak yang mulia dan sikap penghormatan yang tentu sangat layak untuk kita terapkan kepada orang tua. Karena merekalah orang yang paling layak mendapatkan perlakuan yang paling baik dari kita. Sebagaimana telah dijelaskan pada materi sebelumnya.

3. Tidak mendahului mereka dalam berkata-kata

Diantara adab yang mulia kepada orang tua adalah tidak mendahului mereka dalam berkata-kata dan mempersilakan serta membiarkan mereka berkata-kata terlebih dahulu hingga selesai. Lihatlah bagaimana Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu menerapkan adab ini. Beliau berkata:

كنَّا عندَ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ فأتيَ بِجُمَّارٍ، فقالَ: إنَّ منَ الشَّجرةِ شجَرةً، مثلُها كمَثلِ المسلِمِ ، فأردتُ أن أقولَ: هيَ النَّخلةُ، فإذا أنا أصغرُ القومِ، فسَكتُّ، فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ: هيَ النَّخلةُ

“kami pernah bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di Jummar, kemudian Nabi bersabda: ‘Ada sebuah pohon yang ia merupakan permisalan seorang Muslim’. Ibnu Umar berkata: ‘sebetulnya aku ingin menjawab: pohon kurma. Namun karena ia yang paling muda di sini maka aku diam’. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun memberi tahu jawabannya (kepada orang-orang): ‘ia adalah pohon kurma’” (HR. Al Bukhari 82, Muslim 2811).

Ibnu Umar radhiallahu’anhuma melakukan demikian karena adanya para sahabat lain yang lebih tua usianya walau bukan orang tuanya. Maka tentu adab ini lebih layak lagi diterapkan kepada orang tua.

4. Tidak duduk di depan orang tua sedangkan mereka berdiri

Dalilnya hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu:

اشتكى رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فصلينا وراءَه وهو قاعدٌ, وأبو بكرٍ يُسْمِعُ الناسَ تكبيرَه, فالتفتَ إلينا فرآنا قيامًا فأشار إلينا فقعدنا, فصلينا بصلاتِه قعودًا. فلما سلَّمَ قال: إن كدتُم آنفًا لتفعلون فعلَ فارسَ والرومِ, يقومون على ملوكِهم وهم قعودٌ. فلا تفعلوا. ائتموا بأئمَّتِكم. إن صلى قائمًا فصلوا قيامًا وإن صلى قاعدًا فصلوا قعودًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaduh (karena sakit), ketika itu kami shalat bermakmum di belakang beliau, sedangkan beliau dalam keadaan duduk, dan Abu Bakar memperdengarkan takbirnya kepada orang-orang. Lalu beliau menoleh kepada kami, maka beliau melihat kami shalat dalam keadaan berdiri. Lalu beliau memberi isyarat kepada kami untuk duduk, lalu kami shalat dengan mengikuti shalatnya dalam keadaan duduk. Ketika beliau mengucapkan salam, maka beliau bersabda, ‘kalian baru saja hampir melakukan perbuatan kaum Persia dan Romawi, mereka berdiri di hadapan raja mereka, sedangkan mereka dalam keadaan duduk, maka janganlah kalian melakukannya. Berimamlah dengan imam kalian. Jika dia shalat dalam keadaan berdiri, maka shalatlah kalian dalam keadaan berdiri, dan jika dia shalat dalam keadaan duduk, maka kalian shalatlah dalam keadaan duduk” (HR. Muslim, no. 413).

Para ulama mengatakan dilarangnya hal tersebut karena merupakan kebiasaan orang kafir Persia dan Romawi. Maka hendaknya kita menyelisihi mereka.

5. Lebih mengutamakan orang tua daripada diri sendiri atau iitsaar dalam perkara duniawi

Hendaknya kita tidak mengutamakan diri kita sendiri dari orang tua dalam perkara duniawi seperti makan, minum, dan perkara lainnya. Sebagaimana hadits dalam Shahihain mengenai kisah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai tiga orang yang terjebak di dalam gua yang tertutup batu besar, kemudian mereka bertawassul kepada Allah dengan amalan-amalan mereka, salah satunya berkata:

اللهمّ ! إنه كان لي والدان شيخان كبيران . وامرأتي . ولي صبيةٌ صغارٌ أرعى عليهم . فإذا أرحتُ عليهم ، حلبتُ فبدأتُ بوالدي فسقيتُهما قبل بنيّ . وأنه نأى بي ذاتَ يومٍ الشجرُ . فلم آتِ حتى أمسيتُ فوجدتُهما قد ناما . فحلبتُ كما كنت أحلبُ . فجئتُ بالحلابِ . فقمت عند رؤوسِهما . أكرهُ أن أوقظَهما من نومِهما . وأكرهُ أن أسقيَ الصبيةَ قبلهما . والصبيةُ يتضاغون عند قدمي . فلم يزلْ ذلك دأبي ودأبُهم حتى طلع الفجرُ . فإن كنت تعلم أني فعلتُ ذلك ابتغاءَ وجهِك ، فافرجْ لنا منه فرجةً ، نرى منها السماءَ . ففرج اللهُ منه فرجةً . فرأوا منها السماءَ

“Ya Allah sesungguhnya saya memiliki orang tua yang sudah tua renta, dan saya juga memiliki istri dan anak perempuan yang aku beri mereka makan dari mengembala ternak. Ketika selesai menggembala, aku perahkan susu untuk mereka. Aku selalu dahulukan orang tuaku sebelum keluargaku. Lalu suatu hari ketika panen aku harus pergi jauh, dan aku tidak pulang kecuali sudah sangat sore, dan aku dapati orang tuaku sudah tidur. Lalu aku perahkan untuk mereka susu sebagaimana biasanya, lalu aku bawakan bejana berisi susu itu kepada mereka. Aku berdiri di sisi mereka, tapi aku enggan untuk membangunkan mereka. Dan aku pun enggan memberi susu pada anak perempuanku sebelum orang tuaku. Padahal anakku sudah meronta-ronta di kakiku karena kelaparan. Dan demikianlah terus keadaannya hingga terbit fajar. Ya Allah jika Engkau tahu aku melakukan hal itu demi mengharap wajahMu, maka bukalah celah bagi kami yang kami bisa melihat langit dari situ. Maka Allah pun membukakan sedikit celah yang membuat mereka bisa melihat langit darinya“.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Wabillahi at taufiiq was sadaad.



Referensi: Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain, Asy Syaikh Al Muhaddist Musthofa Al ‘Adawi hafizhahullah

Jogja, 25 Rabi’uts Tsani 1437

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Cara Meletakkan Cinta dan Benci Menurut Islam


Pembahasan tentang cinta dan benci dalam Islam masuk dalam ranah pembahasan akidah yang sering diistilahkan dengan al wala’ wal bara’. Al-Wala’ artinya mencintai kaum muslimin dan membantu mereka serta memuliakan dan menghormati mereka dan berusaha dekat dengan mereka. Al-Bara’ artinya membenci orang-orang kafir dan menjauhi serta memusuhi mereka. Akidah al wala’ wal bara’ merupakan sesuatu yang penting karena:

Termasuk pokok akidah Islam
Termasuk tali keimanan yang paling kuat
Termasuk agama Ibrahim ‘alaihis salaam dan agama seluruh rasul, termasuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman :

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن شَيْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.’ (Ibrahim berkata), ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali’” (Al-Mumtahanah: 4).

Jenis-jenis muwalah

Sikap wala’ (cinta dan loyal) terhadap orang kafir ada dua macam :

Sikap muwalah kubra (tawalli). Yaitu mencintai kesyirikan dan orang-orang musyrik serta mencintai kekufuran dan orang-orang kafir. Sikap ini disertai membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin. Hukum sikap seperti ini adalah kufur akbar dan mengeluarkan pelakunya dari Islam. Dalilnya adalah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka“ (Al-Ma’idah: 51).

Sikap muwalah sughra. Yaitu sikap mencintai orang-orang kafir dan musyrik karena alasan dunia dan tidak disertai pembelaan terhadap mereka. Hukum sikap seperti ini adalah haram dan termasuk dosa besar, namun bukan merupakan kekufuran. Dalilnya adalah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang“ (Al-Mumtahanah: 1).

Di antara contoh-contoh perbuatan yang termasuk muwalah sughra adalah:

Menyerupai mereka dalam berpakaian dan berbicara.
Bepergian ke negeri mereka tanpa ada keperluan yang penting dan darurat.
Tinggal di negeri mereka dan tidak berusaha pindah ke negeri kaum muslimin.
Menggunakan sistem penanggalan mereka.
Bersekongkol dan membantu perayaan hari besar mereka serta hadir dalam acara tersebut.
Memberi nama dengan nama-nama yang khusus di kalangan mereka. (Lihat At-Tauhid Al-Muyassar 38-40)
Tiga Golongan dalam Al Wala’ wal Bara’

Ada tiga golongan orang dalam al wala’ wal bara’ yang harus kita perhatikan:

Orang yang harus kita cintai secara total dan tidak disertai kebencian. Mereka adalah mukmin yang sempurna keimanannya, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang shalih. Tentu saja yang paling terdepan di antara mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaulah yang mendapat kecintaan paling besar dibandingkan cinta seseorang kepada anaknya, orangtuanya, dan seluruh manusia. Kemudian setelah itu adalah para istri-istri Nabi dan keluarga beliau, serta para sahabat Nabi radiyallahu ‘anhum. Kemudian orang-orang yang mengkuti jalannya para sahabat, seperti imam yang empat. Allah Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (Al-Hasyr: 10).

Orang yang harus kita benci dan kita musuhi secara mutlak, serta tidak boleh mencintai dan loyal terhadap mereka. Mereka adalah orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang yang murtad, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mujadilah ayat 22.
Orang yang kita cintai dan sekaligus kita benci. Pada diri mereka terkumpul kecintaan sekaligus kebencian, mereka adalah orang mukmin yang bermaksiat. Kita mencintai mereka karena mereka adalah orang yang beriman, dan kita membenci mereka karena maksiat mereka yang tidak termasuk kemusyrikan dan kekafiran. Kecintaan kepada mereka menuntut seseorang untuk menasehati mereka dan mengingkarinya. Tidak boleh diam terhadap maksiat mereka, bahkan harus mengingkarinya dan memerintahkan mereka untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Namun tidak boleh seseorang membenci mereka secara mutlak dan berlepas diri dari mereka seperti perbuatan khawarij (dalam masalah ini, khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah kafir.) terhadap pelaku dosa besar yang bukan dosa kekafiran. Tidak boleh pula mencintai dan loyal secara mutlak terhadap mereka seperti perbuatan murji’ah (dalam masalah ini, murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap seorang mukmin yang sempurna imannya). Kita harus bersikap adil terhadap mereka, mencintai karena keimanan mereka, dan membenci karena kemaksiatan yang mereka lakukan. Inilah madzhab ahlussunnah wal jama’ah (Lihat Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam 27-30).
Balasan Bagi yang Mengamalkan Al Wala’ wal Bara’

Allah Ta’ala berfirman:

لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung” (Al Mujadilah: 22).

Barangsiapa yang merealisasikan dan mengamalkan akidah al wala’ wal bara’ dengan benar akan mendapat balasan kebaikan sebagai berikut:

Terkumpulnya iman di dalam hatinya dan iman akan teguh di dalam hatinya. Allah berfirman : (أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ)
Allah akan memberinya cahaya dan petunjuk. Allah berfirman: (وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ)
Mendapat janji akan masuk surga. Allah berfirman: (وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا)
Allah akan ridha kepadanya. Allah berfirman: (رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ)
Keridhaan hamba di akherat dengan masuknya ke dalam surga. Allah berifman: (وَرَضُوا عَنْهُ)
Mendapat kemuliaan dari Allah, Allah menjadikannya termauk golongan orang-orang khusus dan termasuk golongan yang beruntung. Allah berfirman: (أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ). (Tasirul Wushul Syarh Tsalatsatil Ushul 37-38)
Semoga sajian ringkas ini bermanfaat.



Penulis: dr. Adika Mianoki

Artikel Muslim.or.id

Cara Menjadi Hamba Alloh Yang Sejati


Penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atau al-‘ubudiyyah adalah kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang penuh dengan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan kepada Rabb-nya, serta menempatkan dan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb yang maha sempurna, maha kaya, maha tinggi dan maha perkasa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ}

“Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa manusia pada zatnya butuh dan bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memenuhi kebutuhan mereka lahir dan batin, dalam semua arti kebutuhan dan ketergantungan, baik itu disadari oleh mereka maupun tidak. Oleh karena itu, hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman dan selalu mendapat limpahan taufik-Nya, mereka selalu mempersaksikan ketergantungan dan kebutuhan ini dalam semua urusan dunia maupun agama. Maka mereka selalu merendahkan diri dan memohon dengan sungguh-sungguh agar Dia Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong dan memudahkan segala urusan mereka, serta tidak menjadikan mereka bersandar kepada diri mereka sendiri meskipun hanya sekejap mata[1 Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ini termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang: “… (Ya Allah!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata” HR an-Nasa-i (6/147) dan al-Hakim (no. 2000), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahihah” (1/449, no. 227)]. Mereka inilah yang selalu mendapatkan pertolongan dan limpahan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala1.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kesempurnaan makhluk (manusia) adalah dengan merealisasikan al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah, dan semakin bertambah (kuat) realisasi penghambaan diri seorang hamba (kepada Allah Ta’ala) maka semakin bertambah pula kesempurnaannya (kemuliaannya) dan semakin tinggi derajatnya (di sisi Allah Ta’ala).

Dan barangsiapa yang menyangka (dengan keliru) bahwa seorang hamba bisa saja keluar dari penghambaan diri kepada Allah (tidak terkena kewajiban beribadah kepada Allah Ta’ala) dalam satu sisi, atau (dia menyangka) bahwa keluar dari penghambaan diri itu lebih sempurna (utama), maka dia termasuk orang yang paling bodoh bahkan paling sesat”2.

Makna dan hakikat al-‘ubudiyyah

al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri) atau ibadah adalah sesuatu yang menghimpun rasa cinta yang utuh disertai sikap merendahkan diri yang sempurna3. Maka tidaklah dikatakan suatu perbuatan sebagai ibadah atau penghambaan diri jika tidak disertai dua hal ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ibadah atau penghambaan diri mengandung kesempurnaan dan puncak kecintaan serta kesempurnaan dan puncak (sikap) Menghinakan (merendahkan diri). Sehingga sesuatu yang dicintai tapi tidak diagungkan dan merendahkan diri kepadanya maka tidaklah (disebut sebagai) sesembahan (sesuatu yang diibadahi). Sebagaimana sesuatu yang diagungkan tapi tidak dicintai maka tidaklah (disebut sebagai) sesembahan (sesuatu yang diibadahi). Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ }

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS al-Baqarah: 165)”4.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada jalan menuju (keridhaan) Allah yang lebih dekat dari (jalan) al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah Ta’ala) dan tidak ada hijab (penghalang menuju keridhaan-Nya) yang lebih tebal dari pengakuan (membanggakan dan kagum dengan diri sendiri). Penghambaan diri berporos pada dua patokan yang merupakan landasan al-‘Ubudiyyah, (yaitu) kecintaan yang utuh dan penghinaan diri yang sempurna (kepada Allah Ta’ala).

Kedua lndasan ini tumbuhnya dari dua pokok utama, yaitu mempersaksikan (besarnya) anugrah dan kurunia (dari Allah Ta’ala bagi hamba-Nya, dalam memudahkan segala kebaikan dan melindungi dari semua keburukan), yang ini akan menumbuhkan rasa cinta (kepada Allah Ta’ala), dan mempersaksikan (besarnya) kekurangan diri hamba dan ketidaksempurnaan amalnya, yang ini akan menimbulkan (sikap) merendahkan diri yang sempurna (kepada Allah Ta’ala)”5.

Imam al-Qurthubi berkata: “Barangsiapa yang (selalu) taat dan beribadah kepada Allah, menyibukkan pendengaran, penglihatan, lisan dan hatinya dengan perintah-Nya, maka dialah yang paling berhak (mendapatkan) nama al-‘Ubudiyyah (hamba Allah sejati). Dan barangsiapa yang melakukan kebalikan dari (semua) itu, maka dia termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

{أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ}

“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS al-A’raaf: 179)6.

Inilah kedudukan mulia yang diminta oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam doa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam: “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari kiamat”7.

Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyu’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala8.

Inilah sifat yang menjadikan sempurna penghambaan diri manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan inilah yang menjadikan bertingkat-tingkatnya kedudukan dan keutamaan manusia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga seorang hamba yang kelihatannya banyak berbuat kebaikan dan amal shaleh tapi di dalam hatinya tidak terdapat hakikat penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan sebaliknya, dia bersifat sombong, bangga diri dan lupa menisbatkan taufik kebaikan yang dikerjakannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hamba ini adalah hamba yang buruk dan tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Imam Ahmad menukil dari salah seorang ulama Salaf, bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada ulama ini: Sungguh aku melaksanakan shalat lalu aku menangis (tersedu-sedu) sampai-sampai hampir (bisa) tumbuh sayuran karena (derasnya) air mataku. Maka ulama inipun berkata kepadanya: “Sungguh jika kamu tertawa tapi kamu mengakui dosa-dosamu lebih baik dari pada kamu menangis tapi kamu menyebut-nyebut (membanggakan) amalmu, karena sesungguhnya shalat orang yang menyebut-nyebut (membanggakan amalnya) tidak akan naik ke atas (tidak diterima/diridhai Allah Ta’ala)”9.

Inilah makna ucapan yang dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dari salah seorang ulama Salaf yang berkata: “Sungguh ada seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa (tapi) karena dosa itu dia masuk Surga, dan ada seorang hamba (lain) yang melakukan kebaikan (tapi) karena kebaikan itu dia masuk Neraka”. Orang-orang bertanya (dengan keheranan): Bagaimana (itu bisa terjadi)?

Ulama tersebut berkata: “Hamba yang berbuat dosa, lalu (setelah itu) dosa tersebut selalu ada di hadapan kedua matanya karena dia takut (dan) khawatir (dirinya akan binasa), (maka dia selalu) menangis, menyesali (perbuatan dosa itu), merasa malu kepada Allah Ta’ala, menundukkan kepala di hadapan-Nya, dan merasa hatinya remuk di hadapan-Nya. Maka dosa (yang diperbuatnya) itu lebih bermanfaat bagi hamba ini dari pada banyak amal ketaatan, karena dampak yang muncul setelah itu berupa hal-hal (sikap takut dan merendahkan diri/ penghambaan diri yang sempurna) yang dengan itulah seorang hamba (meraih) kebahagiaan dan keberuntungan (di dunia dan akhirat). Sehingga dosa yang dilakukannya (justru) menjadi sebab dia masuk Surga.

Sedangkan hamba yang melakukan kebaikan, (tapi) setelah itu dia selalu menyebut-nyebut kebaikan tersebut di hadapan Allah, merasa sombong, bangga, merasa dirinya besar dengan kebaikan tersebut dan dia berkata: aku telah melakukan banyak kebaikan. Maka kebaikan tersebut (justru) menimbulkan (sifat) sombong, bangga diri dan angkuh yang menjadi sebab kebinasaannya (karena dia tidak merendahkan dirinya di hadapan Allah), padahal Dialah yang memudahkan bagi hamba tersebut untuk melakukan kebaikan itu”10.

Orang yang paling sempurna penghambaan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Mereka adalah orang-orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan utuh dan sempurna, sehingga mereka selalu bersegera dan berungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shaleh dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersamaan dengan itu, mereka tetap menundukkan diri dan meyakini ketergantungan diri mereka kepada-Nya, dengan selalu berharap dan takut kepada-Nya.

Allah Ta’ala memuji para Nabi dan Rasul-Nya dengan sifat ini dalam firman-Nya:

{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-Anbiyaa’: 90).

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam firman-Nya:

{تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (karena mereka selalu mengerjakan ibadah dan shalat ketika manusia sedang tertidur di malam hari), sedang mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” (QS as-Sajdah: 16).

Juga tentang sifat-sifat mulia para Shahabat radhiallahu’anhum dalam firman-Nya:

{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا، سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ}

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia (para Shahabat radhiallahu’anhum) bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda meraka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS al-Fath: 29).

Imam Mujahid dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya berkata tentang makna “tanda-tanda pada wajah mereka” dalam ayat ini: “Yaitu Khusyu’ (dalam shalat) dan tawadhu’ (sikap merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala)”11.

Inilah makna al-‘ubudiyyah al-khaashshah (penghambaan diri yang khusus) yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an, dengan mereka disebut sebagai ‘hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sejati’ dan digandengakan-Nya mereka dengan nama-Nya yang maha mulia, yang mana penggandengan ini mengandung arti “idha-fatu at-tasriif” (kemuliaan dan keagungan) bagi mereka12.

Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebut Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai hamba-Nya:

{سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS al-Israa’: 1).

Juga firman-Nya:

{أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ}

“Bukankan Allah cukup untuk melindungi hamba-Nya (Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam)?” (QS az-Zumar: 36).

Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah manusia yang paling sempurna dalam menunaikan penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala13.

Sebagaimana sifat ini juga yang Allah jadikan sebagai kemuliaan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa kepada-Nya14 dalam firman-Nya:

{وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا. وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا}

“Dan hamba-hamba (Allah) Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri (melksanakan shalat malam) untuk Rabb mereka (Allah Ta’ala)” (QS al-Furqaan: 63-64).

Sombong dan membanggakan diri, perusak al-‘ubudiyyah

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah masuk Surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan (meskipun) seberat biji debu”. Ada yang bertanya: (Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam), sesungguhnya (setiap) orang senang memakai baju yang bagus dan alas kaki yang indah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan Dia mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran (karena congkak) dan merendahkan manusia“15.

Hadits ini menunjukkan bahwa sifat sombong dan membanggakan diri merupakan sifat yang sangat tercela, bahkan bertentangan dengan sifat al-‘ubudiyyah yang hakikatnya adalah sikap merendahkan diri dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hakikat Islam adalah kepasrahan (dan ketundukan diri) seorang muslim (hanya) kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Karena orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan (juga) kepada selain-Nya (maka) dia adalah seorang musyrik (berbuat syirik/menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala), sebagaimana orang yang menolak (agama) Islam (maka) dia adalah musyrik.

Inilah hakikat (agama) Islam yang diturunkan oleh Allah kepada para Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam dan dalam kitab-kitab-Nya. Yaitu kepasrahan (dan ketundukan diri) seorang hamba (hanya) kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Maka orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan (juga) kepada selain-Nya (maka) dia adalah seorang musyrik (berbuat syirik/menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala), sebagaimana orang yang menolak (agama) Islam (maka) dia adalah orang yang menyombongkan diri.

Dalam hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (beliau bersabda) bahwa “Surga tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada kesombongan (meskipun) seberat biji debu“16. Sebagaimana Neraka tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada keimanan (meskipun) seberat biji debu. Maka (dalam hadits ini) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan sifat sombong sebagai lawan dari keimanan, karena sesungguhnya sifat sombong itu meruntuhkan hakikat al-‘ubudiyyah (penghambaan diri seorang hamba). Sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda: Allah berfirman: “Keagungan adalah sarung-Ku dan kebesaran adalah selendang-Ku, maka barangsiapa melawan-Ku (dengan merasa memiliki) salah satu dari kedua sifat itu maka Aku akan mengazabnya“17.

Maka sifat keagungan dan kebesaran termasuk sifat-sifat yang khusus (dalam) rububiyah Allah (sifat-sifat Allah, seperti menciptakan, mengatur dan menguasai alam semesta beserta isinya). Dan sifat kebesaran lebih tinggi dari sifat keagungan, oleh karena itu, sifat kebesaran dijadikan pada kedudukan selendang, sebagaimana sifat keagungan dijadikan pada kedudukan sarung18.

Oleh karena itu, seorang hamba yang selalu merendahkan diri dan mengakui kelemahan serta kekurangan dirinya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih baik dan lebih mulia dari pada seorang yang selalu membanggakan dirinya meskipun amal ibadahnya terlihat banyak.

Imam Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhiir19 berkata: “Sungguh jika aku tertidur di malam hari tapi aku (bangun) di pagi hari dalam keadaan menyesali (dosa-dosaku) lebih aku sukai dari pada aku berdiri (beribadah) di malam hari tapi ketika di pagi hari aku bangga (dengan diriku sendiri)”. Imam adz-Dzahabi menukil ucapan beliau ini, lalu beliau mengomentari: “Demi Allah, tidak akan beruntung orang yang menganggap dirinya suci atau bangga dengan dirinya sendiri”20.

Penutup

Allah Ta’ala berfirman menjelaskan sifat hamba-hamba-Nya yang telah menyempurnakan sifat al-‘ubudiyyah sehingga mereka meraih predikat takwa kepada-Nya:

{تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ}

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS Al Qashash:83).

Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah Subhanahu wa Ta’ala)”21.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketaatan kepada-Nya yang merupakan sebab keberuntungan kita di dunia dan akhirat, aamiin.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

***

Penulis: Abdullah bin Taslim al-Buthoni, Lc., MA.

Artikel Muslim.or.id

Adab Memuliakan Tamu Dalam Islam


Pembaca muslim yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)


Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.

Adab Bagi Tuan Rumah

1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ

“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)

3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.

4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى

“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)

5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:

فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ

“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?'” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)

6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.

7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.

8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.

9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.

10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.

11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.

12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,

فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ

“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)

13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.

14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.

15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ

“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”

16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.

Adab Bagi Tamu

1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ دُعِىَ فَلْيُجِبْ

“Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ

“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:

Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
Orang yang mengundang adalah muslim.
Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin.

3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)

4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya:

يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)

5. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ

“Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)

6. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan.

7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.

8. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)

9. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat mempererat kasih sayang antara sesama muslim,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)

10. Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ يُقَالُ لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي طَعَامًا اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ

“Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami. Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah mengizinkannya.”” (HR. Bukhari)

11. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa:

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ

“Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani)

اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي

“Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)

اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ

“Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR. Muslim)

12. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan rumah.

***

Penulis: Abu Sa’id Satria Buana
Artikel www.muslim.or.id

Ini Kemuliaan Ilmu dan Ulama


Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Abud Darda’radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh keutamaan seorang ahli ilmu di atas ahli ibadah adalah laksana keutamaan bulan purnama di atas seluruh …

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Abud Darda’radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh keutamaan seorang ahli ilmu di atas ahli ibadah adalah laksana keutamaan bulan purnama di atas seluruh bintang-gemintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Sedangkan para nabi tidak mewariskan uang dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu niscaya dia memperoleh jatah warisan yang sangat banyak.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 22)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Zur bin Hubaisy. Dia berkata: Shofwan bin ‘Asal al-Muradi mengabarkan kepada kami. Dia berkata: Aku pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.” Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka menaiki sebagian yang lain sampai ke langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang mereka lakukan.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 37)

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam Malik. Imam Malik berkata: Aku mendengar Zaid bin Aslam -gurunya- menafsirkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Kami akan mengangkat kedudukan orang-orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf: 76). Beliau berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133], Umdat al-Qari [2/5], dan Fath al-Bari [1/172])

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid mengenai makna firman Allah (yang artinya), “Allah berikan hikmah kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.”Mujahid menafsirkan, “Yaitu ilmu dan fikih/pemahaman.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 19)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid tentang maksud firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan ulil amri di antara kalian.” Beliau menjelaskan,“Yaitu para fuqoha’ dan ulama.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 21)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan, bahwa Abud Darda’radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan para ulama di tengah-tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi manusia.” (lihatAkhlaq al-’Ulama, hal. 29)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma, beliau mengatakan, “Seorang pengajar kebaikan dan orang yang mempelajarinya dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai ikan di dalam lautan sekalipun.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 43-44)

Petaka Lenyapnya Ilmu

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2671])

Hancurnya alam dunia ini -dengan terjadinya kiamat- akan didahului dengan hancurnya pilar-pilar penegak kemaslahatan hidup manusia yang menopang urusan dunia dan akherat mereka. Di antara pilar tersebut adalah; agama, akal, dan garis keturunan/nasab. Rusaknya agama akibat hilangnya ilmu. Rusaknya akal akibat khamr. Adapun rusaknya nasab adalah karena praktek perzinaan yang merajalela di mana-mana (lihat Fath al-Bari[1/218])

Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/237]).

Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])

Di dalam riwayat Ahmad dan Thabrani dari jalan Abu Umamah radhiyallahu’anhudisebutkan bahwa ketika Hajjatul Wada’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ambillah ilmu sebelum sebelum ia dicabut atau diangkat.” Maka ada seorang Badui yang bertanya, “Bagaimana ia diangkat?”. Maka beliau menjawab, “Ketahuilah, hilangnya ilmu adalah dengan perginya (meninggalnya) orang-orang yang mengembannya.” (lihat Fath al-Bari [1/237-238])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi itu ada tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan berbagai jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang tandus sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat darinya. Mereka mengambil air minum untuk mereka sendiri, untuk ternak, dan untuk mengairi tanaman. Hujan itu juga menimpa tanah yang licin, ia tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanam-tanaman. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah kemudian ajaran yang kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu dan mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mau peduli dengan agama dan tidak mau menerima hidayah Allah yang aku sampaikan.” (HR. Bukhari)

Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan segi keserupaan antara hujan dengan ilmu agama. Beliau berkata, “Sebagaimana hujan akan menghidupkan tanah yang mati (gersang), demikian pula ilmu-ilmu agama akan menghidupkan hati yang mati.” (lihat Fath al-Bari [1/215]).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihatal-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227). Wallahu a’lam.



Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Perbedaan Kita Dengan Rosullulloh dan Sahabat


Bismillah, Alhamdulillah, segala pujian hanya untuk Allah subhanahu wata’ala, Rabb semesta Allah. Shalawat dan salam marilah kita haturkan kepada Rasulullah Muhammad ﷺ serta kepada para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in.

Pembaca sekalian yang semoga senantiasa mendapatkan kenikmatan dari Allah berupa iman dan petunjuk, marilah kita berkaca, dan merenungi sejenak perjalanan hidup kita, dan perjalanan kita dalam belajar Islam serta dalam beribadah kepada Allah. Sudah berapa lama kita hidup? Dan sudah berapa lama kita mengenal islam, dan sudah berapa lama kita beribadah kepada Allah? Dan sudah berkualitaskah ibadah-ibadah itu?

Dan kita mari kita bandingkan pula kualitas Islam kita dengan para shahabat Rasulullah ﷺ, Generasi yang Terbaik itu. Penulis memilih menggunakan kata “Terbaik”, karena sampai tulisan ini  dibuat, belum pernah penulis temukan generasi yang kualitasnya melebihi generasi para Shahabat ini. Tidak pernah dijumpai pada generasi sebelum Rasulullah diutus sekalipun. Sebutlah misalnya generasi terbaik Nabi Isa ‘alaihissalam, para hawariyyun. Bandingkan jumlahnya dengan dengan para shahabat Rasulullah, sangat jauh. Sebagian pendapat mengatakan hawariiyun berjumlah 12 orang. Sedangkan sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga ada 10, dan selain itu banyak pula yang keimanan, ketaqwaannya, dan pengorbanannya sangat luar biasa, meskipun mereka tidak masuk daftar jaminan surga tersebut. Merekalah generasi terbaik.

Mungkin pada masa-masa lain kita akan menjumpai orang-orang yang kualitasnya seperti para shahabat ini, namun tidak pernah kita jumpai hal ini dalam sebuah generasi. Hanya sebagian saja, bukan generasi. Rasulullah ﷺ bersabda :
“Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)

Inilah jaminan bahwasanya mereka adalah generasi yang terbaik.

Apa rahasia keberhasilan mereka menjadi generasi terbaik?

Barangkali generasi kita dan setelah kita memang tidak akan pernah mengalahkan kemuliaan generasi shahabat untuk menjadi generasi yang terbaik. Namun tentu hal ini tidak menjadi alasan kita untuk menyerah. Kita pun memiliki kesempatan untuk meniti jalan kemuliaan para shahabat ini agar kita menjadi orang-orang yang hebat sebagaimana mereka. Kita perlu mempelajari cara yang ditempuh oleh mereka, lalu kita amalkan sehingga kita bisa menjadi seperti mereka. Meskipun kita tidak bisa mengalahkan kemuliaan mereka.

Dalam kitab Ma’alim fii ath-thoriq, Imam Sayyid Qutb menuliskan setidaknya ada tiga hal yang membuat para shahabat menjadi generasi yang gemilang kemuliaannya. Ketiga hal inilah ternyata yang membedakan generasi kita saat ini, dengan generasi para shahabat mulia itu. Marilah kita simak, dan kita perbaiki kekurangan pada diri kita saat ini.

Pertama : Rujukan generasi terbaik itu hanyalah Al-Qur’an semata, bukan lainnya. Tentunya dengan penjelasannya dari Rasulullah ﷺ. Atau dengan kata lain, rujukan para shahabat hanyalah Al-Islam.

Inilah bedanya mereka dengan kita. Para shahabat sadar sepenuhnya tentang kedudukan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang menyeluruh. Pedoman untuk menjalani kehidupan untuk semua aspek kehidupannya. Mereka mengimaninya sepenuhnya. Dan mereka mendudukannya sebagaimana tempatnya.

Al-Qur’an adalah rujukan dalam masalah keyakinan atau aqidah. Al-Qur’an adalah rujukan dalam perkara sosial, ekonomi, politik, kenegaraan, dan lain sebagainya. Sebagaimana jawaban ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika ditanya tentang akhlaq Nabi ﷺ, beliau menjawab :
“Sesungguhnya akhlaq beliau adalah Al-Qur’an” (HR Nasa’i)

Rasulullah ﷺ ketika melihat Umar ibn Khaththab sedang memegang taurat, dengan maksud untuk dipelajari, beliau berkata dengan agak marah :
“Demi Allah sekiranya Nabi Musa masih hidup bersama-sama kamu sekarang pun, tidak halal baginya melainkan mesti mengikut ajaranku.”
(Hadis riwayat Al-hafidz Abu Ya’la dari Hammad dari Asy-sya’bi dari Jabir)

Beliau menghendaki agar para shahabat terjaga dari hal-hal lain selain Al-Qur’an, bahkan dari taurat sekalipun, padahal ia adalah firman Allah kepada Nabi Musa ‘alaihissalam.

Adapun generasi kita saat ini, memang secara umum beriman kepada Al-Qur’an, namun keyakinannya tidak sepenuhnya berdasarkan Islam. Masih banyak tercampur keyakinannya dengan kebudayaan, agama terdahulu, maupun kepercayaan nenek moyang terdahulu. Dalam beriman dan berislam pun kita masih tercampur dengan cara-cara orang terdahulu dalam mempelajari agamanya, seperti hermeneutika, filsafat, dan lainnya. Dan lain sebagainya.

Inilah bedanya kita dengan mereka, para Shahabat Rasulullah ﷺ.
Kedua : Cara generasi terbaik itu dalam menerima dakwah islam yang unik. Generasi para shahabat  itu mempelajari Al-Qur’an dengan satu tujuan saja : untuk diamalkan dalam kehidupan.

Mereka, radhiyallahu ‘anhum ajmain, mempelajari Al-Qur’an layaknya seorang prajurit yang mendapatkan perintah harian dari atasannya. Perintah itu mereka tunggu-tunggu, tidak lain tidak bukan, untuk segera dikerjakan sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah. Tidak seorang pun dari mereka belajar banyak-banyak hal serta merta, karena mereka sadar beban akan semakin banyak yang belum terlaksanakan.

Mereka, semoga Allah meridhai mereka, belajar Al-Qur’an tanpa bermaksud untuk menambah bahan bacaan semata. Tidak ada seorang pun yang belajar dengan tujuan untuk mencari hiburan atau penghapus kesedihan. Tidak ada seorang un diatara mereka yang belajar Al-Qur’an untuk menjadi bekal ilmu dan bahan akademik untuk mengisi wawasan mereka saja.

Perasaan inilah, yaitu belajar untuk mengamalkan, yang telah menambah lapangnya hidup mereka, menambah luasnya pemahaman dan pengalaman mereka terhadap Al-Qur’an. Dan ini tidak mungkin dicapai jika sekedar belajar Al-Qur’an dengan tujuan menyelidiki dan mengkaji serta membaca saja.

Dalam riwayat Ibnu Mas’ud disebutkan bahwa para shahabat mencukupkan untuk belajar Al-Qur’an setiap sepuluh ayat saja. Manakala mereka sudah belajar sepuluh ayat, kemudian mempelajari makna dan tafsirnya, lalu dihafalkan, kemudian diamalkan, dan didakwahkan kepada orang lain. Baru kemudian menambah lagi dengan sepuluh ayat berikutnya. Subhanallah, tidak heran mereka menjadi generasi terbaik. Inilah rahasinya.

Allah subhahanu wata’ala berfirman :

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلاً
Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (17:106)

Al-Qur’an yang dipelajari dengan tujuan untuk diamalkan, lalu bekerja pada diri mereka. Al-Qur’an merasuk menjadi darah, daging dan perilaku mereka. Al-Qur’an meresap, menjadi panduan dalam gerakan mereka, lalu menjadi pelajaran-pelajaran yang menggerakkan perbuatan kesehariannya. Al-Qur’an tidak hanya menjadi sekedar teori yang dihafal dalam kepala dan tertulis dalam kitab saja. Al-Qur’an menjadi lahir dalam bentuk nyata, menjadi cara pandang, dan melahirkan peristiwa-peristiwa yang mengubah arah kehidupan mereka.

Inilah bedanya dengan kita saat ini, amat sedikit diantara kita yang belajar dengan tujuan untuk diamalkan. Sebagian kita saat ini bahkan sering kali mendapati bahwa : saya sudah tahu hal itu, ataupun hal ini, ini hanya mengulang saja. Namun ternyata ilmu yang ia telah ketahui belum diamalkan sepenuhnya.

Banyak diantara kita tahu keutamaan dan hukum shalat berjama’ah, namun masih enggan melakukannya. Banyak diantara kita tahu wajibnya berdakwah, menyeru kepada Allah. Namun banyak pula yang enggan melakukannya. Adapula yang sudah melakukannya namun enggan bermujahadah pada jalan dakwah tersebut. Dan banyak pula dalam hal-hal lainnya. Pada intinya, ilmu yang telah banyak kita pelajari, tidak sebanding dengan amal perbuatan yang mestinya terlaksana.

Yang ketiga : Para shahabat begitu menerima Al-Qur’an dan diamalkan, lalu mereka meninggalkan selain darinya. Segala sesuatu selain Al-Qur’an akan dipandang dengan tatapan penuh kewaspadaan, dan kecurigaan. Baik itu berupa ajaran nenek moyang, adat istiadat masyarakat, pemahaman populer pada masyarakat maupun lainnya.

Para sahabat benar-benar menyadari bahwa Islam adalah agama yang menjadi jalan hidup yang menyeluruh, meliputi seluruh aspek kehidupan. Sehingga tidak perlu dan jangan sampai hal-hal selain dari Al-Qur’an dan selain dari syariat ini, ikut masuk dan mencampurinya.

Mereka menyadari bahwa ketika mereka masuk Islam, mengucapkan syahadatnya, hal ini berarti mereka memasuki kehidupan yang sama sekali baru. Kehidupan baru yang harusnya terpisah jauh-jauh dari kehidupan jahiliyahnya yang dulu. Mereka menganggap kehidupannya yang lama adalah kehidupan yang buruk, kotor, dan tidak sesuai dengan ajaran agamanya yang baru itu.

Mereka memiliki perasaan bahwa mereka ini terpisah dengan kehidupan jahiliyahnya yang dulu. Sehingga mereka terpisah dengan kehidupan masyarakat jahiliyahnya yang dulu. Seolah-olah hijrah  dari kehidupan lama dan meninggalkannya semuanya.

Inilah bedanya kita dengan shahabat. Mereka merasa Islam saja yang diperlukan, yang lain tidak perlu mencampurinya. Adapun kita saat ini, sebagian kita berislam dengan setengah-setengah. Dan setengahnya terisi dengan selainnya. Baik berupa adat istiadat, pandangan masyarakat, ilmu-ilmu barat, dan sebagainya.

Kita beragama Islam namun tidak menerapkan pendidikan islam pada pendidikan kita. Begitupun dalam bidang perekonomian kita, ketatanegaraan kita, sosial kita dan lainnya. Islam terkucilkan pada sudut-sudut masjid dan terjadwalkan pada bulan ramadhan saja.

Inilah bedanya kita dengan mereka. Dapatkah kita menjadi seperti mereka, para shahabat radhiyallahu ajma’in?

 sumber belajarislam.com