Cara Islam Memandang Harta Dan Kekayaan


Imam As-Syafii rahimahullah berkata :

إِذَا مَا كُنْتَ ذَا قَلْبٍ قَنُوْعٍ ….. فَأَنْتَ وَمَالِكُ الدُّنْيَا سَوَاءُ

Jika engkau memiliki hati yang selalu qona’ah …

maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia

Sekitar tujuh tahun yang lalu saya berkunjung di kamar seorang teman saya di Universitas Madinah yang berasal dari negara Libia, dan kamar tersebut dihuni oleh tiga mahasiswa yang saling dibatasi dengan sitar (kain) sehingga membagi kamar tersebut menjadi tiga petak ruangan kecil berukuran sekitar dua kali tiga meter. Ternyata… ia sekamar dengan seorang mahasiswa yang berasal dari negeri China yang bernama Ahmad. Beberapa kali aku dapati ternyata Ahmad sering dikunjungi teman-temannya para mahasiswa yang lain yang juga berasal dari China. Rupanya mereka sering makan bersama di kamar Ahmad, sementara Ahmad tetap setia memasakkan makanan buat mereka. Akupun tertarik melihat sikap Ahmad yang penuh rendah diri melayani teman-temannya dengan wajah yang penuh senyum semerbak. Ahmad adalah seorang mahasiswa yang telah berkeluarga dan telah dianugerahi seorang anak. Akan tetapi jauhnya ia dari istri dan anaknya tidaklah menjadikan ia selalu dipenuhi kesedihan…, hal ini berbeda dengan kondisi sebagian mahasiswa yang selalu bersedih hati karena memikirkan anak dan istrinya yang jauh ia tinggalkan.

Suatu saat akupun menginap di kamar temanku tersebut, maka aku dapati ternyata Ahmad bangun sebelum sholat subuh dan melaksanakan sholat witir, entah berapa rakaat ia sholat. Tatkala ia hendak berangkat ke mesjid maka akupun menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Wahai akhi Ahmad, aku lihat engkau senantiasa ceria dan tersenyum, ada apakah gerangan”, Maka Ahmadpun dengan serta merta berkata dengan polos, “Wahai akhi… sesungguhnya Imam As-Syafi’i pernah berkata bahwa jika hatimu penuh dengan rasa qonaa’h maka sesungguhnya engkau dan seorang raja di dunia ini sama saja”.

Aku pun tercengang… sungguh perkataan yang indah dari Imam As-Syafii… rupanya inilah rahasia kenapa Ahmad senantiasa tersenyum.

Para pembaca yang budiman Qona’ah dalam bahasa kita adalah “nerimo” dengan apa yang ada. Yaitu sifat menerima semua keputusan Allah. Jika kita senantiasa merasa nerima dengan apa yang Allah tentukan buat kita, bahkan kita senantiasa merasa cukup, maka sesungguhnya apa bedanya kita dengan raja dunia. Kepuasan yang diperoleh sang raja dengan banyaknya harta juga kita peroleh dengan harta yang sedikit akan tetapi dengan hati yang qona’ah.

Bahkan bagitu banyak raja yang kaya raya ternyata tidak menemukan kepuasan dengan harta yang berlimpah ruah… oleh karenanya sebenarnya kita katakan “Jika Anda memiliki hati yang senantiasa qona’ah maka sesungguhnya Anda lebih baik dari seorang raja di dunia”.

Kalimat qona’ah merupakan perkataan yang ringan di lisan akan tetapi mengandung makna yang begitu dalam. Sungguh Imam As-Syafi’i tatkala mengucapkan bait sya’ir diatas sungguh-sungguh dibangun di atas ilmu yang kokoh dan dalam.

Seseorang yang qona’ah dan senantiasa menerima dengan semua keputusan Allah menunjukkan bahwa ia benar-benar mengimani taqdir Allah yang merupakan salah satu dari enam rukun Iman.

Ibnu Batthool berkata

وَغِنَى النَّفْسِ هُوَ بَابُ الرِّضَا بِقَضَاءِ اللهِ تَعَالىَ وَالتَّسْلِيْم لأَمْرِهِ، عَلِمَ أَنَّ مَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ للأَبْرَارِ، وَفِى قَضَائِهِ لأوْلِيَائِهِ الأَخْيَارِ

“Dan kaya jiwa (qona’ah) merupakan pintu keridhoan atas keputusan Allah dan menerima (pasrah) terhadap ketetapanNya, ia mengetahui bahwasanya apa yang di sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang baik, dan pada ketetapan Allah lebih baik bagi wali-wali Allah yang baik” (Syarh shahih Al-Bukhari)

Orang yang qona’ah benar-benar telah mengumpulkan banyak amalan-amalan hati yang sangat tinggi nilainya. Ia senantiasa berhusnudzon kepada Allah, bahwasanya apa yang Allah tetapkan baginya itulah yang terbaik baginya. Ia bertawakkal kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada Allah, sedikitnya harta di tangannya tetap menjadikannya bertawakkal kepada Allah, ia lebih percaya dengan janji Allah daripada kemolekan dunia yang menyala di hadapan matanya.

Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata ;

إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِيْنِكَ أَنْ تَكُوْنَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقُ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللهِ

“Sesungguhnya di antara lemahnya imanmu engkau lebih percaya kepada harta yang ada di tanganmu dari pada apa yang ada di sisi Allah” (Jami’ul ‘Uluum wal hikam 2/147)

Orang yang qona’ah tidak terpedaya dengan harta dunia yang mengkilau, dan ia tidak hasad kepada orang-orang yang telah diberikan Allah harta yang berlimpah. Ia qona’ah… ia menerima semua keputusan dan ketetapan Allah. Bagaimana orang yang sifatnya seperti ini tidak akan bahagia..???!!!

Allah berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl : 97)

Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :الحَيَاةُ الطَّيِّبَةُ الْقَنَاعَةُ Kehidupan yang baik adalah qona’ah (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya 17/290)

Renungkanlah bagaimana kehidupan orang yang paling bahagia yaitu Nabi kita shallallahu ‘alahi wa sallam…sebagaimana dituturkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhaa,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ لِعُرْوَةَ ابْنَ أُخْتِي إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الْهِلَالِ ثُمَّ الْهِلَالِ ثَلَاثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَارٌ فَقُلْتُ يَا خَالَةُ مَا كَانَ يُعِيشُكُمْ قَالَتْ الْأَسْوَدَانِ التَّمْرُ وَالْمَاءُ إِلَّا أَنَّهُ قَدْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِيرَانٌ مِنْ الْأَنْصَارِ كَانَتْ لَهُمْ مَنَائِحُ وَكَانُوا يَمْنَحُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَلْبَانِهِمْ فَيَسْقِينَا

Aisyah berkata kepada ‘Urwah, “Wahai putra saudariku, sungguh kita dahulu melihat hilal kemudian kita melihat hilal (berikutnya) hingga tiga hilal selama dua bulan, akan tetapi sama sekali tidak dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Maka aku (Urwah) berkata, “Wahai bibiku, apakah makanan kalian?”, Aisyah berkata, “Kurma dan air”, hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tetangga dari kaum Anshoor, mereka memiliki onta-onta (atau kambing-kambing) betina yang mereka pinjamkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diperah susunya, maka Rasulullahpun memberi susu kepada kami dari onta-onta tersebut” (HR Al-Bukhari no 2567 dan Muslim no 2972)

Dua bulan berlalu di rumah Rasulullah akan tetapi tidak ada yang bisa dimasak sama sekali di rumah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makanan beliau hanyalah kurma dan air.

Rumah beliau sangatlah sempit sekitar 3,5 kali 5 meter dan sangat sederhana. ‘Athoo’ Al-Khurosaani rahimahullah berkata : “Aku melihat rumah-rumah istri-istri Nabi terbuat dari pelepah korma, dan di pintu-pintunya ada tenunan serabut-serabut hitam. Aku menghadiri tulisan (keputusan) Al-Waliid bin Abdil Malik (khalifah tatkala itu) dibaca yang memerintahkan agar rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasukan dalam areal mesjid Rasululullah. Maka aku tidak pernah melihat orang-orang menangis sebagaimana tangisan mereka tatkala itu (karena rumah-rumah tersebut akan dipugar dan dimasukan dalam areal mesjid-pen). Aku mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib berkata pada hari itu,

واللهِ لَوَدِدْتُ أَنَّهُمْ تَرَكُوْهَا عَلَى حَالِهَا يَنْشَأُ نَاشِيءٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَيَقْدُمُ الْقَادِمُ مِنَ الأُفُقِ فَيَرَى مَا اكْتَفَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ فِي حَيَاتِهِ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ مِمَّا يُزَهِّدُ النَّاسَ فِي التَّكَاثُرِ وَالتَّفَاخُرِ

“Sungguh demi Allah aku sangat berharap mereka membiarkan rumah-rumah Rasulullah sebagaimana kondisinya, agar jika muncul generasi baru dari penduduk Madinah dan jika datang orang-orang dari jauh ke kota Madinah maka mereka akan melihat bagaimana kehidupan Rasulullah. Hal ini akan menjadikan orang-orang mengurangi sikap saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan harta dan sikap saling bangga-banggaan” (At-Tobaqoot Al-Kubroo li Ibn Sa’ad 1/499)

Orang-orang mungkin mencibirkan mulut tatkala memandang seorang yang qona’ah yang berpenampilan orang miskin.., karena memang ia adalah seorang yang miskin harta. Akan tetapi sungguh kebahagiaan telah memenuhi hatinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan yang haqiqi adalah kaya jiwa (hati)” (HR Al-Bukhari no 6446 dan Muslim no 1050)

Ibnu Battool rahimahullah berkata, “Karena banyak orang yang dilapangkan hartanya oleh Allah ternyata jiwanya miskin, ia tidak nerimo dengan apa yang Allah berikan kepadanya, maka ia senantiasa berusaha untuk mencari tambahan harta, ia tidak perduli dari mana harta tersebut, maka seakan-akan ia adalah orang yang kekurangan harta karena semangatnya dan tamaknya untuk mengumpul-ngumpul harta. Sesungguhnya hakekat kekayaan adalah kayanya jiwa, yaitu jiwa seseorang yang merasa cukup (nerimo) dengan sedikit harta dan tidak bersemangat untuk menambah-nambah hartanya, dan nafsu dalam mencari harta, maka seakan-akan ia adalah seorang yang kaya dan selalu mendapatkan harta” (Syarh Ibnu Batthool terhadap Shahih Al-Bukhari)

Abu Dzar radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya,

يَا أَبَا ذَر، أَتَرَى كَثْرَةَ الْمَالِ هُوَ الْغِنَى؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : أَفَتَرَى قِلَّةِ الْمَالِ هُوَ الْفَقْرُ؟ قُلْتُ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قال : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْبِ وَالْفَقْرُ فَقْرُ الْقَلْبِ

“Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta merupakan kekayaan?”. Aku (Abu Dzar) berkata : “Iya Rasulullah”. Rasulullah berkata : “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta merupakan kemiskinan?”, Aku (Abu Dzar ) berkata, “Benar Rasulullah”. Rasulullahpun berkata : “Sesungguhnya kekayaan (yang hakiki-pen) adalah kayanya hati, dan kemisikinan (yang hakiki-pen) adalah miskinnya hati” (HR Ibnu Hibbaan dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih At-Targiib wa At-Tarhiib no 827)

Maka orang yang qona’ah meskipun miskin namun pada hakikatnya sesungguhnya ialah orang yang kaya.

Madinah, 10 04 1432 H / 15 03 2011 M

Penulis: Ustadz Firanda Andirja, Lc, MA

Artikel www.muslim.or.id

Cara Menjadi Hamba Alloh Yang Sejati


Penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atau al-‘ubudiyyah adalah kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang penuh dengan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan kepada Rabb-nya, serta menempatkan dan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb yang maha sempurna, maha kaya, maha tinggi dan maha perkasa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ}

“Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa manusia pada zatnya butuh dan bergantung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memenuhi kebutuhan mereka lahir dan batin, dalam semua arti kebutuhan dan ketergantungan, baik itu disadari oleh mereka maupun tidak. Oleh karena itu, hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman dan selalu mendapat limpahan taufik-Nya, mereka selalu mempersaksikan ketergantungan dan kebutuhan ini dalam semua urusan dunia maupun agama. Maka mereka selalu merendahkan diri dan memohon dengan sungguh-sungguh agar Dia Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong dan memudahkan segala urusan mereka, serta tidak menjadikan mereka bersandar kepada diri mereka sendiri meskipun hanya sekejap mata[1 Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan ini termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang: “… (Ya Allah!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata” HR an-Nasa-i (6/147) dan al-Hakim (no. 2000), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaaditsish shahihah” (1/449, no. 227)]. Mereka inilah yang selalu mendapatkan pertolongan dan limpahan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala1.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kesempurnaan makhluk (manusia) adalah dengan merealisasikan al-‘ubudiyyah (penghambaan diri) kepada Allah, dan semakin bertambah (kuat) realisasi penghambaan diri seorang hamba (kepada Allah Ta’ala) maka semakin bertambah pula kesempurnaannya (kemuliaannya) dan semakin tinggi derajatnya (di sisi Allah Ta’ala).

Dan barangsiapa yang menyangka (dengan keliru) bahwa seorang hamba bisa saja keluar dari penghambaan diri kepada Allah (tidak terkena kewajiban beribadah kepada Allah Ta’ala) dalam satu sisi, atau (dia menyangka) bahwa keluar dari penghambaan diri itu lebih sempurna (utama), maka dia termasuk orang yang paling bodoh bahkan paling sesat”2.

Makna dan hakikat al-‘ubudiyyah

al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri) atau ibadah adalah sesuatu yang menghimpun rasa cinta yang utuh disertai sikap merendahkan diri yang sempurna3. Maka tidaklah dikatakan suatu perbuatan sebagai ibadah atau penghambaan diri jika tidak disertai dua hal ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ibadah atau penghambaan diri mengandung kesempurnaan dan puncak kecintaan serta kesempurnaan dan puncak (sikap) Menghinakan (merendahkan diri). Sehingga sesuatu yang dicintai tapi tidak diagungkan dan merendahkan diri kepadanya maka tidaklah (disebut sebagai) sesembahan (sesuatu yang diibadahi). Sebagaimana sesuatu yang diagungkan tapi tidak dicintai maka tidaklah (disebut sebagai) sesembahan (sesuatu yang diibadahi). Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ }

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS al-Baqarah: 165)”4.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada jalan menuju (keridhaan) Allah yang lebih dekat dari (jalan) al-‘Ubudiyyah (penghambaan diri kepada Allah Ta’ala) dan tidak ada hijab (penghalang menuju keridhaan-Nya) yang lebih tebal dari pengakuan (membanggakan dan kagum dengan diri sendiri). Penghambaan diri berporos pada dua patokan yang merupakan landasan al-‘Ubudiyyah, (yaitu) kecintaan yang utuh dan penghinaan diri yang sempurna (kepada Allah Ta’ala).

Kedua lndasan ini tumbuhnya dari dua pokok utama, yaitu mempersaksikan (besarnya) anugrah dan kurunia (dari Allah Ta’ala bagi hamba-Nya, dalam memudahkan segala kebaikan dan melindungi dari semua keburukan), yang ini akan menumbuhkan rasa cinta (kepada Allah Ta’ala), dan mempersaksikan (besarnya) kekurangan diri hamba dan ketidaksempurnaan amalnya, yang ini akan menimbulkan (sikap) merendahkan diri yang sempurna (kepada Allah Ta’ala)”5.

Imam al-Qurthubi berkata: “Barangsiapa yang (selalu) taat dan beribadah kepada Allah, menyibukkan pendengaran, penglihatan, lisan dan hatinya dengan perintah-Nya, maka dialah yang paling berhak (mendapatkan) nama al-‘Ubudiyyah (hamba Allah sejati). Dan barangsiapa yang melakukan kebalikan dari (semua) itu, maka dia termasuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

{أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ}

“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS al-A’raaf: 179)6.

Inilah kedudukan mulia yang diminta oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam doa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam: “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari kiamat”7.

Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyu’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala8.

Inilah sifat yang menjadikan sempurna penghambaan diri manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan inilah yang menjadikan bertingkat-tingkatnya kedudukan dan keutamaan manusia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga seorang hamba yang kelihatannya banyak berbuat kebaikan dan amal shaleh tapi di dalam hatinya tidak terdapat hakikat penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan sebaliknya, dia bersifat sombong, bangga diri dan lupa menisbatkan taufik kebaikan yang dikerjakannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hamba ini adalah hamba yang buruk dan tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Imam Ahmad menukil dari salah seorang ulama Salaf, bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada ulama ini: Sungguh aku melaksanakan shalat lalu aku menangis (tersedu-sedu) sampai-sampai hampir (bisa) tumbuh sayuran karena (derasnya) air mataku. Maka ulama inipun berkata kepadanya: “Sungguh jika kamu tertawa tapi kamu mengakui dosa-dosamu lebih baik dari pada kamu menangis tapi kamu menyebut-nyebut (membanggakan) amalmu, karena sesungguhnya shalat orang yang menyebut-nyebut (membanggakan amalnya) tidak akan naik ke atas (tidak diterima/diridhai Allah Ta’ala)”9.

Inilah makna ucapan yang dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dari salah seorang ulama Salaf yang berkata: “Sungguh ada seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa (tapi) karena dosa itu dia masuk Surga, dan ada seorang hamba (lain) yang melakukan kebaikan (tapi) karena kebaikan itu dia masuk Neraka”. Orang-orang bertanya (dengan keheranan): Bagaimana (itu bisa terjadi)?

Ulama tersebut berkata: “Hamba yang berbuat dosa, lalu (setelah itu) dosa tersebut selalu ada di hadapan kedua matanya karena dia takut (dan) khawatir (dirinya akan binasa), (maka dia selalu) menangis, menyesali (perbuatan dosa itu), merasa malu kepada Allah Ta’ala, menundukkan kepala di hadapan-Nya, dan merasa hatinya remuk di hadapan-Nya. Maka dosa (yang diperbuatnya) itu lebih bermanfaat bagi hamba ini dari pada banyak amal ketaatan, karena dampak yang muncul setelah itu berupa hal-hal (sikap takut dan merendahkan diri/ penghambaan diri yang sempurna) yang dengan itulah seorang hamba (meraih) kebahagiaan dan keberuntungan (di dunia dan akhirat). Sehingga dosa yang dilakukannya (justru) menjadi sebab dia masuk Surga.

Sedangkan hamba yang melakukan kebaikan, (tapi) setelah itu dia selalu menyebut-nyebut kebaikan tersebut di hadapan Allah, merasa sombong, bangga, merasa dirinya besar dengan kebaikan tersebut dan dia berkata: aku telah melakukan banyak kebaikan. Maka kebaikan tersebut (justru) menimbulkan (sifat) sombong, bangga diri dan angkuh yang menjadi sebab kebinasaannya (karena dia tidak merendahkan dirinya di hadapan Allah), padahal Dialah yang memudahkan bagi hamba tersebut untuk melakukan kebaikan itu”10.

Orang yang paling sempurna penghambaan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Mereka adalah orang-orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan utuh dan sempurna, sehingga mereka selalu bersegera dan berungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shaleh dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersamaan dengan itu, mereka tetap menundukkan diri dan meyakini ketergantungan diri mereka kepada-Nya, dengan selalu berharap dan takut kepada-Nya.

Allah Ta’ala memuji para Nabi dan Rasul-Nya dengan sifat ini dalam firman-Nya:

{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-Anbiyaa’: 90).

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam firman-Nya:

{تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (karena mereka selalu mengerjakan ibadah dan shalat ketika manusia sedang tertidur di malam hari), sedang mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” (QS as-Sajdah: 16).

Juga tentang sifat-sifat mulia para Shahabat radhiallahu’anhum dalam firman-Nya:

{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا، سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ}

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia (para Shahabat radhiallahu’anhum) bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda meraka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS al-Fath: 29).

Imam Mujahid dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya berkata tentang makna “tanda-tanda pada wajah mereka” dalam ayat ini: “Yaitu Khusyu’ (dalam shalat) dan tawadhu’ (sikap merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala)”11.

Inilah makna al-‘ubudiyyah al-khaashshah (penghambaan diri yang khusus) yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an, dengan mereka disebut sebagai ‘hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sejati’ dan digandengakan-Nya mereka dengan nama-Nya yang maha mulia, yang mana penggandengan ini mengandung arti “idha-fatu at-tasriif” (kemuliaan dan keagungan) bagi mereka12.

Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebut Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai hamba-Nya:

{سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS al-Israa’: 1).

Juga firman-Nya:

{أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ}

“Bukankan Allah cukup untuk melindungi hamba-Nya (Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam)?” (QS az-Zumar: 36).

Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah manusia yang paling sempurna dalam menunaikan penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala13.

Sebagaimana sifat ini juga yang Allah jadikan sebagai kemuliaan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa kepada-Nya14 dalam firman-Nya:

{وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا. وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا}

“Dan hamba-hamba (Allah) Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri (melksanakan shalat malam) untuk Rabb mereka (Allah Ta’ala)” (QS al-Furqaan: 63-64).

Sombong dan membanggakan diri, perusak al-‘ubudiyyah

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidaklah masuk Surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan (meskipun) seberat biji debu”. Ada yang bertanya: (Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam), sesungguhnya (setiap) orang senang memakai baju yang bagus dan alas kaki yang indah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan Dia mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran (karena congkak) dan merendahkan manusia“15.

Hadits ini menunjukkan bahwa sifat sombong dan membanggakan diri merupakan sifat yang sangat tercela, bahkan bertentangan dengan sifat al-‘ubudiyyah yang hakikatnya adalah sikap merendahkan diri dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Hakikat Islam adalah kepasrahan (dan ketundukan diri) seorang muslim (hanya) kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Karena orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan (juga) kepada selain-Nya (maka) dia adalah seorang musyrik (berbuat syirik/menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala), sebagaimana orang yang menolak (agama) Islam (maka) dia adalah musyrik.

Inilah hakikat (agama) Islam yang diturunkan oleh Allah kepada para Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam dan dalam kitab-kitab-Nya. Yaitu kepasrahan (dan ketundukan diri) seorang hamba (hanya) kepada Allah dan bukan kepada selain-Nya. Maka orang yang memasrahkan diri kepada Allah dan (juga) kepada selain-Nya (maka) dia adalah seorang musyrik (berbuat syirik/menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala), sebagaimana orang yang menolak (agama) Islam (maka) dia adalah orang yang menyombongkan diri.

Dalam hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (beliau bersabda) bahwa “Surga tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada kesombongan (meskipun) seberat biji debu“16. Sebagaimana Neraka tidak akan dimasuki oleh orang yang dalam hatinya ada keimanan (meskipun) seberat biji debu. Maka (dalam hadits ini) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan sifat sombong sebagai lawan dari keimanan, karena sesungguhnya sifat sombong itu meruntuhkan hakikat al-‘ubudiyyah (penghambaan diri seorang hamba). Sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda: Allah berfirman: “Keagungan adalah sarung-Ku dan kebesaran adalah selendang-Ku, maka barangsiapa melawan-Ku (dengan merasa memiliki) salah satu dari kedua sifat itu maka Aku akan mengazabnya“17.

Maka sifat keagungan dan kebesaran termasuk sifat-sifat yang khusus (dalam) rububiyah Allah (sifat-sifat Allah, seperti menciptakan, mengatur dan menguasai alam semesta beserta isinya). Dan sifat kebesaran lebih tinggi dari sifat keagungan, oleh karena itu, sifat kebesaran dijadikan pada kedudukan selendang, sebagaimana sifat keagungan dijadikan pada kedudukan sarung18.

Oleh karena itu, seorang hamba yang selalu merendahkan diri dan mengakui kelemahan serta kekurangan dirinya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih baik dan lebih mulia dari pada seorang yang selalu membanggakan dirinya meskipun amal ibadahnya terlihat banyak.

Imam Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhiir19 berkata: “Sungguh jika aku tertidur di malam hari tapi aku (bangun) di pagi hari dalam keadaan menyesali (dosa-dosaku) lebih aku sukai dari pada aku berdiri (beribadah) di malam hari tapi ketika di pagi hari aku bangga (dengan diriku sendiri)”. Imam adz-Dzahabi menukil ucapan beliau ini, lalu beliau mengomentari: “Demi Allah, tidak akan beruntung orang yang menganggap dirinya suci atau bangga dengan dirinya sendiri”20.

Penutup

Allah Ta’ala berfirman menjelaskan sifat hamba-hamba-Nya yang telah menyempurnakan sifat al-‘ubudiyyah sehingga mereka meraih predikat takwa kepada-Nya:

{تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ}

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS Al Qashash:83).

Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah Subhanahu wa Ta’ala)”21.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketaatan kepada-Nya yang merupakan sebab keberuntungan kita di dunia dan akhirat, aamiin.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

***

Penulis: Abdullah bin Taslim al-Buthoni, Lc., MA.

Artikel Muslim.or.id

Adab Memuliakan Tamu Dalam Islam


Pembaca muslim yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)


Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.

Adab Bagi Tuan Rumah

1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ

“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)

3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.

4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى

“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)

5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:

فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ

“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?'” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)

6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.

7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.

8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.

9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.

10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.

11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.

12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,

فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ

“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)

13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.

14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.

15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ

“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”

16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.

Adab Bagi Tamu

1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ دُعِىَ فَلْيُجِبْ

“Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ

“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:

Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
Orang yang mengundang adalah muslim.
Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin.

3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)

4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya:

يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)

5. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ

“Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)

6. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan.

7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.

8. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)

9. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat mempererat kasih sayang antara sesama muslim,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)

10. Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ يُقَالُ لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي طَعَامًا اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ

“Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami. Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah mengizinkannya.”” (HR. Bukhari)

11. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa:

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ

“Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani)

اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي

“Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)

اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ

“Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR. Muslim)

12. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan rumah.

***

Penulis: Abu Sa’id Satria Buana
Artikel www.muslim.or.id

Menyambut Ramadhan dengan Gempita

“Barang siapa bahagia dengan kedatangan Ramadhan, diharamkan jasadnya masuk neraka.” (Rasulullah SAW)
Ramadhan tinggal menunggu hari. Jika tidak ada perbedaan Insya’ Allah awal Ramadhan akan dimulai pada 9 Juli 2013 mendatang. Tidak ada salahnya, mulai saat ini kita mempersiapkan diri dengan berbagai persiapan guna menyuksesan ibadah kita di bulan Ramadlan.
Berbicara bulan Ramadhan tentu pikiran kita mengarah pada puasa. Ibadah ini disinyalir dalam Al-Quran sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan dan tidak dapat ditinggalkan kecuali ada alasan-alasan yang dibenarkan syariat. Dalam ungkapan lain ibadah puasa adalah ritual yang dimasukan dalam satu rangkaian kegiatan yang ada di bulan Ramadhan.
Urgensitas Puasa
Puasa yang kita laksanakan setiap bulan Ramadhan adalah manifestasi keimanan kita kepada Allah. Puasa tanpa didasari oleh iman dan didahului oleh tujuan (niat), hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Ia hanya menahan nafsu (makan dan minum) tanpa tujuan yang jelas.
Puasa adalah Rukun Islam ketiga, artinya puasa harus didahului dengan syahadat kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian dilanjutkan dengan shalat, baru kemudian melakukan ibadah puasa. Maka dari itu, kita harus memahami seluruh perintah Allah dan Rasul-Nya serta makna shalat, sebelum melakukan ibadah puasa. Jadi puasa tidak berdiri sendiri. Ia merupakan kesatuan dari keseluruhan Rukun Islam.
Tujuan puasa yang sebenarnya adalah untuk menahan diri. Menahan diri dalam arti yang sangat luas. Menahan diri dari belenggu nafsu duniawi berlebihan yang tidak terkendali, atau nafsu batiniah yang tidak seimbang. Di mana kesemuanya itu, apabila tidak diletakan pada porsi yang benar akan mengakibatkan suatu ketidakseimbangan hidup yang akan berujung pada kegagalan.
Dalam buku bertajuk Emotional Spiritual Quotient (ESQ), karangan Ary Ginanjar Agustian dijelaskan bahwa dorongan (nafsu) fisik maupun batin secara berlebihan akan menghasilkan sebuah rantai belenggu yang akan menutup asset yang paling berharga dari seorang manusia, yaitu “God-Spot”.God-Spot adalah kejernihan hati dan fikiran manusia yang merupakan sumber-sumber suara hati yang selalu memberikan bimbingan dan informasi-informasi maha penting untuk keberhasilan dan kemajuan seseorang.
Lebih lanjut Ary Ginanjar menjelaskan bahwa God-Spot yang tertutup oleh nafsu fisik dan batin yang tidak seimbang akan mengakibatkan seseorang menjadi buta emosi. Artinya, ia akan menjadi seseorang yang tidak peka dan tidak mampu membaca kondisi batiniah dirinya dan juga lingkungannya secara obyektif. Hal ini terjadi karena radar hatinya telah tertutup oleh nafsu, sehingga ia tidak lagi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, karena menurutnya kebenaran adalah apabila ia mengikuti nafsu pribadi.
Selain itu puasa juga bertujuan sebagai pengendalian diri untuk menjaga fitrah berfikir agar selalu memiliki kejernihan hati, sekaligus sebagai bentuk pelatihan diri dari Allah agar manusia dapat menghamba kepada-Nya secara totalitas. Artinya, ketika dalam keadaan lapar dan dahaga manusia tetap memiliki hasrat untuk taat kepada Allah SWT. Inilah bentuk pelatihan dahsyat dan sempurna yang metodenya langsung diberikan oleh Allah SWT.
Puasa adalah pelatihan untuk menjaga fitrah manusia sehingga ia tetap memiliki kesadaran diri dan akan menghasilkan sebuah akhlak terpuji (akhlakul karimah). Namun masalahnya, masih banyak umat islam yang belum menyadari pentingnya makna puasa yang sebenarnya. Mereka hanya menghentikan makan dan minum tanpa mempelajari apa makna dan tujuan besar yang tersimpan di balik ibadah puasa.
Apabila seseorang sudah memahami makna hidup yang sesungguhnya, yaitu menjalankan misi Tuhan, dan telah mendalami tujuan hidup berdasarkan Al-Qur’an, maka ia akan menyadari bahwa salah satu tujuan puasa adalah pembebasan diri dari belenggu, untuk menjaga dan memelihara fitrah dalam rangka memakmurkan bumi di jalan Allah SWT.
Untuk mencapai tujuan itu banyak hal yang perlu dipersiapkan. Yakni mempersiapkan diri secara lahiriah maupun batiniah. Persiapan lahiriah berarti persiapan untuk tetap menjaga kesehatan fisik. Jangan sampai ketika Ramadhan datang kondisi kesehatan kita melemah. Sedangkan persiapan batiniah adalah persiapan mental agar mental kita tetap sehat. Yakni mental yang selalu siap dalam menjalankan semua ritualitas bulan Ramadhan dengan penuh semangat dan totalitas.
Persiapan itu penting. Ibarat orang bepergian jauh tentu butuh bekal. Jika tujuan kita jauh tentu bekal yang harus kita butuhkan juga berjumlah besar, agar tidak kehabisan di tengah jalan, dan sampai tujuan dengan selamat. Begitu juga dengan puasa, jika kita mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang, maka tujuan utama puasa yakni menjadi orang yang bertaqwa akan tercapai. Untuk itu mari kita sambut Ramadhan dengan gempita, seperti sabda Rasulullah di awal tulisan ini, barang siapa yang bahagia dengan kedatangan Ramadhan, diharamkan jasadnya masuk neraka! Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang-orang yang muttaqin. Amiin. nu online

Lemparkan Tanah Pada Orang yang Suka Memuji


قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أَحْثُوا فِي أَفْوَاحِ الْمَدَّاحِيْنَ التُّرَابَ-البيهقي

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: Lemparkan tanah kepada mulut orang-orang yang suka memuji (Al Baihaqi, dishahihkan oleh Al Hafidz As Suyuthi).

Ungkapan “lemparkan tanah” adalah kiasan dari penolakan dan sanggahan atas pujian, dan itu berlaku kepada orang-orang yang biasa memberikan pujian sampai ia menjadikan kebiasaan itu sebagai bekal mencari penghidupan, sehingga tidak boleh memberikan apapun untuk mereka, karena pujian yang mereka berikan.

Namun ada juga yang ulama yang memaknai hadits ini secara dzahirnya, yakni melemparkan tanah kepada orang yang suka memuji, dengan mengambil segenggam tanah kemudian melemparkannya kepada mereka sambil mengatakan,”Kelak harga makhluk sama dengan ini, siapa aku dan apa kemampuanku”.Hal itu dilakukan agar pihak yang mamuji dan yang dipuji sama-sama menyadari mertabatnya.

Imam An Nawawi menyabutkan bahwa pujian ada dua, pujian di saat yang dipuji tidak ada dan pujian di hadapan orang yang dipuji. Untuk yang pertama dibolehkan selama tidak ada unsur kebohongan. Jika ada unsur itu maka hal itu dilarang, namun bukan pujiannya melainkan kebohonganya. Adapun jika pujian dilakukan di depan yang bersangkutan maka ada nash yang membolehkan ada nash yang melarang seperti nash di atas. Dan untuk mengkompromikan keduanya, maka dilihat kondisi pihak yang dipuji. Jika yang dipuji imannya sempurna hingga pujian itu tidak menggelincirkannya maka hal itu boleh dilakukan, bahkan hukumnya mustahab jika ada maslahat. Namun jika ditakutkan pihak yang dipuji bakal terlena, maka makruh memberikan pujian. (lihat, Faidh Al Qadir, 1/236,237

Rep: Sholah Salim
Editor: Thoriq
sumber Hidayatullahl.com

Sayangi yang Ada di Bumi, Engkau Disayangi Penduduk Langit


Penduduk langit sebagai ganti daripada siapa (yang berada) di langit

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ لَا يَرْحَمْ مَنْ فِي الْاَرْضِ لَا يَرْحَمْهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ –الطبراني

Artinya: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda, ”Barangsiapa tidak menyayangi siapa (yang berada) di bumi maka tidak menyayanginya siapa (yang berada) di langit”. (Riwayat Ath Thabarani, dan dishahihkan oleh Al Hafidz As Suyuthi)

Al Allamah Al Munawi menjelaskan bahwa yang dalam riwayat yang lain disebutkan penduduk langit sebagai ganti daripada siapa (yang berada) di langit.

Dalam syarh Al Hikam disebutkan, bahwa seseorang bermimpi bertemu dengan dengan saudaranya yang telah wafat, kemudian ia pun bertanya mengenai perihalnya, ”Apa  yang telah Allah lakukan terhadapmu?” Saudaranya itu pun menjawab,”Allah mengampuniku dan menyayangiku, hal itu disebabkan saat aku melalui jalanan di Baghdad dalam keadaan hujan deras, aku menyaksikan seekor kucing kedinginan, aku pun merasa kasihan lalu aku ambil dia dan kuletakkan dibalik pakaiannku.” (Lihat, Faidh Al Qadir, 6/239)

Rep: Sholah Salim
Editor:

Bersin Rasulullah dan Bersin Manusia Awam


عن أبي هريرة رضي الله عنه: كَانَ إِذَا عَطَسَ وَضَعَ يَدَهُ أَوْ ثَوْبَهُ عَلَى فِيْهِ وَخَفَضَ بِهَا صَوْتَهُ -الترمذي
Artinya: Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya-,”Bahwasannya Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam jika bersin beliau meletakkan tangannya atau pakaiannya di atas mulutnya, dan dengannya beliau memelankan suara (bersin)” (Riwayat At Tirmidzi, beliau menyatakan,”hadits hasan shahih”)

Dari hadits di atas, Al Munawi menyimpulkan bahwa Rasulullah menahan suara bersin dengan menutup mulut dengan tangan atau baju, dalam riwayat lain menutup wajah. Rasulullah juga tidak berteriak ketika bersin sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan manusia awam.

At Taurabasyti menyatakan bahwa hal ini merupakan bagian dari adab, dimana manusia tidak suka mendengar suara bersin atau menyaksikan ingus. (lihat Faidh Al Qadir, 5/149)

Rep: Sholah Salim
Editor: Thoriq
sumber : Hidayatullah.com

Yang Shalih Beristighfar, Bagaimana Pendosa?



Imam Al Ghazaliy menjelaskan bahwa bentuk taubat itu bertingkat-tingkat sesaui dengan kondisi keimanan pelakunya.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: تُوْبُوا إِلَى اللَّهِ تَعاَلَى فَإِنِّي أَتُوْبُ إِلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ -البخاري في أدب المفرد

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya setiap hari sebanyak seratus kali”. (Riwayat Al Bukhari dalam Adab Al Mufrad dan dihasankan oleh Al Hafidz As Suyuthiy)

Al Hafidz Al Ala’iy menjelaskan bahwa maksud taubat di hadits itu adalah taubat istighfar, yang mana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam banyak melakukannya. 

Imam Al Ghazaliy menjelaskan bahwa bentuk taubat itu bertingkat-tingkat sesaui dengan kondisi keimanan pelakunya. Bertaubatnya orang kebanyakan dalah bertaubat dari dosa-dosa yang telah ia lakukan. Sedangkan taubatnya orang shalih adalah taubat dari kelalaian hati. Dan taubat bagi orang-orang yang mencapai derajat keshalihan yang cukup tinggi (khawwas al khawwas) adalah istighfar dari perhatiannya terhadap selain Allah Ta’ala, karena kata “dzanbun” (dosa) secara bahasa bermakna derajat lebih rendah seorang hamba. Dengan demikian, setiap derajat keimanan memiliki taubat sendiri, hingga dengan taubat derajat keimanan dan derajat pertaubatan semakin meningkat.

Imam Al Munawiy menjelaskan bahwa ada perbedaan penyebutan jumlah taubat dalam hadits ini dan hadits lainnya yang menyebutkan 70 kali, namun itu semua cermin banyaknya istighfar bukan pembatasan jumlah istighfar yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (lihat, Faidh Al Qadir, 3/361,362).

Jika Rasulullah Shallallallahu Alalihi Wassallam perbanyak istighfar dalam setiap harinya, begaimana dengan kita “bangsa awam” yang banyak dosanya?

Rep: Sholah Salim
Editor: Cholis Akbar

Jalan Rasulullah, Cepat tanpa Tergesa


Dari Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu anhu- ia berkata,”Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam jika berjalan badannya condong ke depan, seperti sedang turun dari tempat yang menurun” (Riwayat At Tirmidzi)

Imam At Tirmidzi menyebutkan hadits mengenai sifat jalannya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam As Syama`il Al Muhammadiyah. Dari hadits itu para ulama menyimpulkan bahwa Rasulullah berjalan dengan cepat.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah –radhiyallahu anhu-disebutkan bahwa dalam kebiasaannya, Rasulullah Shallallahu Alaini Wasallam berjalan dengan cepat namun tidak merasa kelelahan, hingga para sahabat bersusah payah untuk mengikutinya.

Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah –Shallallahu Alaihi Wasallam- memiliki fisik yang kuat. Dan langkah beliau meskipun cepat, namun bukan bentuk ketergesa-gesaan. (lihat, Al Isyraqat As Saniyah, hal. 131-133)

Rep: Sholah Salim
Editor: Thoriq
sumber hidayatullah.com

Menjaga Al Qur`an Seperti Menjaga Onta



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إِنِّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ إِنْ عاهَدَهاَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَ  إِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ -البخاري

Artinya: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Sesungguhnya perumpamaan shahib Al Qur`an seperti pemilik onta yang bertali kekang. Jika ia terus-menerus menjaganya (tali) atasnya (onta) ia menahannya dan jika ia melepasnya (tali) maka ia (onta) pergi”. (Riwayat Al Bukhari)

Shahib Al Qur`an adalah siapa yang biasa membacanya, baik dengan melihat maupun dengan hafalan. Dan hadits di atas mengumpamakan Al Qur`an dengan onta yang bertali kekang, sehingga selama yang bersangkutan terus-menerus membacanya maka ia akan terjaga sebagaimana jika onta dijaga dengan tali kekangnya.

Dalam hadits ini onta di jadikan perumpamaan, karena onta merupakan hewan yang paling mudah kabur. (lihat Faidh Al Qadir, 3/ 3)

Rep: Sholah Salim
Editor: Thoriq

sumber : hidayatullah.com

Pidato Ali bin Abi Thalib di Hari Wafatnya Khalifah Abu Bakar


Semoga Allah meridhoi Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib r.a. dan Amirul Mukminin, Abu Bakar Shiddiq r.a

HUBUNGAN Khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib dikenal sangat erat.  Dalam kitab Nahjul Balaghah, kitab yang diyakini kumpulan pidato Ali, dikatakan bahwa Ali memuji Abu Bakar dan Umar sebagai Khalifah.

Dr. ‘Aidh Al-Qarni dan Dr. Muhammad Al-Hasyimi Al-Hamdi mengutip pidato Ali bin Abi Talib Radhiallahu Anhu di saat meninggalnya Khalifah Umar Bin Khatab;

“Allah merahmatimu wahai Abu Bakar. Engkau adalah orang pertama yang memeluk Islam. Orang yang paling ikhlas dalam beriman. Orang yang paling kuat keyakinan. Orang berada yang paling mulia dan orang yang paling melindungi Rasul Allah. Orang yang dekat dengan Rasul Allah akhlaknya,  kemuliaannya,  petunjuknya dan karakternya. Semoga Allah memberimu pahala kebaikan atas Islam,  Rasul Allah dan kaum muslimin. Engkau membenarkan Rasul Allah saat orang-orang mengingkari. Engkau mendarmakan hartamu saat orang-orang lain kikir. Engkau berdiri bersamanya saat orang-orang lain diam. Allah menamakanmu Shiddiqan (yaitu yang datang dgn membawa kebenaran dan dia membenarkan. Mereka adalah orang-orang yang muttaqun). Orang-orang menginginkan Muhammad dan Muhammad menginginkanmu. Demi Allah engkau adalah benteng Islam dan siksaan bagi kaum kafirin. Hujjah-mu tidak menurun dan nalarmu tidak melemah. Dirimu tidak pernah takut. Engkau bagaikan gunung yang tidak goyah oleh hembusan badai. Engkau seperti halnya sabda Rasul : “Badanmu lemah namun kukuh dalam perintah Allah. Engkau adalah orang yang rendah hati namun mulia dihadapan Allah. Mulia di muka bumi dan besar di hadapan kaum muslimin. Tidak seorangpun di hadapanmu berambisi dan tidak seorangpun meremehkan. Orang yang kuat di hadapanmu lemah sampai engkau mengembalikan hak orang lain dari padanya. Orang yang lemah di hadapanmu kuat sampai engkau mengembalikan haknya. Semoga Allah tidak menjauhkan pahalamu atas kami dan tidak pula Allah menyesatkan kami setelah kepergianmu..”

Semoga Allah meridhoi Amirul Mukminin,  Ali bin Abi Thalib r.a. dan Amirul Mukminin,  Abu Bakar Shiddiq r.a. (Dikutip dari buku ‘Mawaddah Ahlu Al-Bait ‘inda Ahli Al-Sunnah’ oleh Dr. ‘Aidh Al-Qarni dan Dr. Muhammad Al-Hasyimi Al-Hamdi).*

Rep: Panji Islam
Editor: Cholis Akbar

sumber hidayatulloh.com

Bolehkan Mendonorka ASI dan Bank ASI Menurut Islam?


Ummu Hafizh
Ketua Departemen Wanita HDI


Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2010 menyebutkan bahwa hanya 33,6% bayi berumur 0-6 bulan yang mendapat ASI (Air Susu Ibu) eksklusif. Tingkat pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih rendah. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, terutama: kurangnya pengetahuan tentang manfaat ASI, gencarnya promosi susu formula, dan semakin meningkatnya jumlah wanita karir.

Padahal sudah ada PP No. 33 tahun 2012, yang mengatur tentang pemberian ASI eksklusif, pendonor ASI, pengaturan penggunaan susu formula bayi dan produk bayi lainnya, pengaturan bantuan produsen atau distributor susu formula bayi, saksi terkait, serta pengaturan tempat kerja dan sarana umum dalam mendukung program ASI Eksklusif.

Bahkan, di perkotaan saat ini telah berkembang trend baru berupa donor ASI dan bank ASI. Bagaimana  Islam mengatur hal ini?

Donor dan Bank ASI Menurut Islam


Donor ASI dilakukan oleh seorang ibu yang memiliki ASI berlimpah, dan berkeinginan untuk memberikan ASI-nya kepada bayi selain anaknya sendiri. Dengan adanya donor ASI akan mendorong timbulnya bank ASI.

Donor ASI dan Bank ASI berkaitan dengan ibu yang memberikan air susunya dan bayi yang menerima air susu tersebut.  Allah SWT berfirman: “(Diharamkan atas kamu mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan” (QS An Nisa: 23). Islam mengatur adanya hubungan nasab, yang mengharamkan adanya pernikahan antara bayi laki-laki yang menerima donor ASI dengan ibu yang mendonorkan ASI-nya serta saudara wanita yang sama-sama meminum ASI dari wanita tersebut. Atau sebaliknya, bayi wanita yang menerima donor ASI dengan saudara laki-laki yang sama-sama meminum ASI dari ibu yang mendonorkan ASInya tersebut.   

Berdasarkan Majma’ Fiqh Islam, Majelis penelitian di bawah koordinasi OKI dalam muktamar Islam yang diadakan pada tanggal 22 – 28 Desember 1985 telah menyimpulkan: “Setelah dipaparkan penjelasan secara fiqih dan ilmu kedokteran tentang bank ASI, maka terbukti bahwa bank ASI yang telah diujicoba di masyarakat Barat menimbulkan beberapa hal negatif, baik dari sisi teknis dan ilmiah. Sehingga mengalami penyusutan dan kurang mendapatkan perhatian. Sedangkan dalam masyarakat Islam, masih memungkinkan untuk mempersusukan anak kepada wanita lain secara alami. Keadaan ini menunjukkan tidak perlunya Bank ASI. OKI memutuskan untuk menentang keberadaan bank ASI di seluruh Negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.

Kerusakan yang ditimbulkan dari pendirian bank ASI: pertama, terjadinya pencampuran nasab jika distribusi ASI tidak diatur secara ketat. Kedua, pendirian bank ASI memerlukan biaya yang sangat besar dan terlalu berat untuk ditanggung oleh Negara berkembang seperti Indonesia. Ketiga, ASI yang disimpan dalam bank berpotensi terkena virus dan bakteri yang berbahaya, bahkan kualitas ASI bisa menurun drastis dibandingkan dengan ASI yang langsung dihisap  bayi dari ibunya. Keempat,dikhawatirkan ibu dari keluarga miskin akan berlomba-lomba untuk menjual ASI-nya kepada bank dengan harga tinggi, sedangkan anak mereka diberi susu formula. Kelima, para wanita karir yang sibuk dan punya uang akan semakin malas untuk menyusui sendiri bayi mereka.

Pendapat yang membolehkan pendirian bank ASI memberikan syarat yang sangat ketat: setiap ASI yang dikumpulkan di bank ASI harus disimpan di tempat khusus dengan menulis nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain.  Setiap bayi yang meminum ASI tersebut harus dicatat identitasnya secara lengkap dan frekuensi mengkonsumsi ASI dari pendonor yang sama. Jika bayi sudah 5 kali meminum ASI yang sama, maka kedua keluarga harus dipertemukan dan diberi sertifikat hubungan sepersusuan. Sehingga selanjutnya jelas terjadi pengharaman pernikahan diantara mereka seperti saudara kandung yang menjadi mahram mereka.

Islam juga mengatur bahwa bayi yang berhak mengkonsumsi ASI dari donor ASI hanyalah bayi yang ibunya tidak dapat mengeluarkan air susu, ibu si bayi sakit, atau ibu si bayi meninggal. Dalam situasi tersebut, di jaman nabi (memang tidak ada susu formula) tidak direkomendasikan dengan susu kambing atau sapi, tetapi dengan ASI dari ibu susu. Nabi tidak hanya mendapat ASI dari ibunya, tetapi juga dari ibu susu yang bernama Halimah Sa’diyah. Jadi bank ASI dan donor ASI boleh-boleh saja asal tetap memperhatikan masalah nasab.

Batasan Umur
Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasan umur penerima donor ASI adalah  seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman Allah swt: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. “ (QS. Al Baqarah: 233)

Jumlah Susuan

Dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Hanyasanya persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi karena lapar” (HR Bukhari No. 2647 dan Muslim No. 3679).
Hadits Aisyah ra: “Dahulu dalam Al Qur`an, susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (HR Muslim No.3670)

Cara Menyusu

Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan secara langsung, ataupun dengan cara memasukkan ASI ke lubang hidungnya, atau dengan cara menuangkannya langsung ke tenggorakannya, atau dengan cara yang lain.

Seperti halnya dengan masalah bayi tabung yang dihukumi berdasarkan sperma dan ovum yang berproses menjadi zygot, bukan jima’ atau dukhul atau bertemunya pasangan suami-isteri dalam hubungan suami isteri. Sama saja dengan perihal Asi yang sampai kepada mulut bayi yang menerima donor ASI, lalu ASI tersebut masuk kedalam tubuhnya membentuk tulang, darah dan daging. Bukan perihal harus secara langsung mulut bayi menyusu dari wanita pendonor ASI.
Menyusui (ar-Radha’) berdasarkan pendapat empat Imam Madzab: Madzab Hanafi, isapan anak yang disusui terhadap payudara wanita pada waktu tertentu. Madzab Maliki, masuknya ASI seorang wanita kedalam perut bayi meskipun wanita itu mati atau masih kecil, dengan menggunakan alat untuk memasukkan ASI ke dalam perut, atau melalui suntikan, yang menjadikan ASI sebagai makanan. Madzab Syafi’i, sampainya ASI wanita atau apa yang dihasilkan dari ASI tersebut pada perut bayi atau otak atau sumsumnya.  Madzab Hambali, mengisap atau meminum ASI yang terkumpul karena kehamilan dari payudara seorang wanita dan yang seperti itu.

Jadi, memasukkan ASI ke perut bayi lewat mata, telinga atau pori-pori kulit kepala, atau pun lewat suntikan yang tidak dimaksudkan sebagai pemberian makanan, maka hal ini tidak menyebabkan pengharaman nikah. Sebab, air susu tersebut tidak melewati jalan yang biasa, sehingga tidak akan membuahkan daging dan tulang. Demikian juga ASI yang disuntikkan ke dalam tubuh namun tidak dimaksudkan sebagai makanan, maka hal ini tidak menyebabkan keharaman nikah.  

Kesimpulan

Donor ASI melalui bank ASI, berpotensi merancukan hubungan mahram atau persaudaraan karena sepersusuan. Pendonor hanya sekedar memberikan identitas dirinya secara umum, seperti seseorang yang akan mendonorkan darahnya. Selanjutnya tidak dapat dilacak siapa saja bayi-bayi yang pernah mengkonsumsi ASI-nya, sehingga tidak jelas bagi seseorang siapa bermahram dengan siapa. Akibatnya, akan terjadi kelak di kemudian hari, seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita yang ternyata pernah mengkonsumsi ASI dari seorang wanita pendonor ASI yang sama. Bila hal ini terjadi, berarti pasangan tersebut telah melakukan keharaman karena menikahi mahram yang terjadi akibat ikatan saudara sepersusuan. Inilah bahaya yang nyata dari keberadaan donor ASI yang disimpan di bank ASI tanpa dilengkapi dengan pencatatan secara syar’i.

Oleh karena itu, Kementrian Kesehatan yang sedang menggodok peraturan yang berkaitan dengan donor ASI dan bank ASI, harus memperhatikan kaidah-kaidah syariat Islam yang berkaitan dengan hubungan nasab sepersusuan. Jangan sampai kaum muslimin yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini terjerumus dalam dosa yang turun temurun ke anak cucu. Na’udzubillaahi min dzalik!

Wajibkah Adanya Mahram Bagi Wanita yang Melakukan Safar?


Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Direktur PUSKAFI Jakarta
Doktor Ilmu Fiqh Universitas Al Azhar, Mesir


Safar wanita masih menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama, hal ini karena dalil-dalil yang berhubungan dengan safar wanita masih bersifat umum, sehingga berpotensi menimbulkan berbagi penafsiran. Tulisan di bawah ini menjelaskan perbedaan ulama tersebut:

Pengertian Safar

Safar secara bahasa adalah melakukan perjalanan. Safar juga berarti terbuka, disebut demikian  karena orang yang melakukan safar akan terbuka dirinya dari tempat tinggalnya ke tempat yang terbuka. Begitu juga orang yang melakukan safar akan terbuka akhlaq, perilaku dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika seseorang tidak mengadakan perjalanan. (Ibnu mandhur, Lisan al-Arab).

Oleh karenanya, wanita yang tidak menggunakan jilbab, sehingga sebagian anggota tubuhnya terlihat disebut dengan “Safirah“ (wanita terbuka auratnya).

Adapun Safar secara istilah para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasnya. Mayoritas ulama menentukan bahwa safar adalah perjalanan yang jaraknya lebih dari 85 km. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan, batasan suatu perjalanan disebut dengan safar atau tidak, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat masing-masing. Mereka berpedoman dengan kaidah fiqih yang menyatakan:

“Setiap istilah yang tidak mempunyai batasan di dalam bahasa Arab, dan tidak pula dalam syariat (al-Qur’an dan sunnah), maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.“

Pengertian Mahram

Mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah dengannya. (Mukhtar as-Shihah: 1/ 56)

Adapun mahram secara istilah adalah seorang laki-laki yang diharamkan menikah dengan seorang perempuan selamanya karena nasab, seperti hubungan bapak, anak, saudara dan paman, atau karena sebab yang mubah seperti suami, anak suami, mertua, saudara sesusuan.“ 

Bentuk-bentuk Safar Wanita


Safar yang dilakukan wanita bisa dibagi menjadi tiga bentuk:

Pertama: Safar Mubah, seperti melakukan perjalan untuk rekreasi.

Kedua: Safar Mustahab (yang dianjurkan), seperti melakukan perjalanan untuk mengunjungi orang sakit atau  menyambung silaturahim.

Imam Baghawi berkata sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari (4/76): “Para ulama tidak berbeda pendapat tentang ketidakbolehan seorang perempuan melakukan perjalanan yang bukan wajib, kecuali harus disertai suaminya atau mahramnya. Kecuali bagi perempuan kafir yang masuk Islam kemudian ingin berhijrah dari Dar al-Harbi (Negara Kafir) atau dia dalam keadaan ditawan musuh dan bisa lepas.“

Pernyataan di atas kurang akurat, karena pada kenyataannya terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, seperti yang diriwayatkan dari al-Karabisi salah satu ulama Syafi’iyah yang membolehkan wanita melakukan safar mustahab tanpa disertai mahram.

Ketiga: Safar Wajib, seperti melakukan perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji, menolong orang sakit dan berbakti kepada orang tua.  

Jika seorang wanita melakukan safar dalam bentuk ketiga ini tanpa mahram, para ulama   berselisih pendapat tentang status hukumnya:

Pendapat Pertama, mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh melaksanakan ibadah haji kecuali dengan mahramnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau.

Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadist yang melarang seorang wanita melakukan safar tanpa mahram, diantaranya adalah hadist Ibnu Abbas: radhiyallahu 'anhuma bahwa dia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabdas :

"Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya". Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji". Maka Beliau bersabda: "Tunaikanlah hajji bersama istrimu" (HR Bukhori)

Hadits di atas menunjukkan bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi seorang wanita muslimah.

Pendapat Kedua, mengatakan bahwa seorang wanita muslimah dibolehkan melaksanakan ibadah haji tanpa mahram.  Dan mahram bukanlah syarat wajib haji bagi seorang wanita muslimah. Ini adalah pendapat Hasan Basri, Auza’I, Imam Malik Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, serta pendapat Dhahiriyah. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam riwayat terakhir beliau. (al-Majmu’: 8/382, al-Furu’: 3/ 177)

Imam Malik menyatakan bahwa mahram bisa diganti dengan rombongan wanita yang bisa dipercaya selama perjalanan aman. Berkata Imam al Baji al-Maliki :

“Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu dalam keadaan sendiri dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah rombongan sangat banyak, sedang jalan – yang dilewati – adalah jalan umum yang ramai dan aman, maka bagi saya keadaan tersebut seperti keadaan dalam kota yang banyak pasar-pasarnya dan para pedagang yang berjualan, maka seperti ini dianggap aman bagi wanita yang bepergian tanpa mahram dan tanpa teman wanita. “ (al-Muntaqa : 3/17) 

Dalil mereka sebagai berikut :

Dalil Pertama: Hadist Adi bin Hatim, bahwa Nabi shollallahu alahi wassalam bersabda :

“Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Al Hirah hingga melakukan thawaf di Ka'bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah".  (HR. Bukhari)

Hadit di atas berisi tentang pujian dan sanjungan pada suatu perbuatan, hal itu menunjukkan kebolehan.Sebaliknya hadist yang mengandung celaan  kepada suatu perbuatan menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. (Umdatu al-Qari : 16 /148) 

Dalil Kedua: Atsar Ibnu Umar.

Dari Ibnu Umar bahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya. Kemudian beliau berhaji dengan mereka. Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram lagi bagi Ibnu Umar. Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram. (Disebutkan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla)

Dalil Ketiga: Atsar Aisyah.

“Dari Aisyah tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi wanita muslimah, beliau berkata:  “Apakah semua wanita memiliki mahram untuk pergi haji?!” (Riwayat Baihaqi)

Dalil Keempat: Kaidah Fiqhiyah.

“Dalam masalah ibadah mahdha dasarnya adalah  ta’abbud, ( menerima apa adanya tanpa dicari-cari alasannya, seperti jumlah rekaat sholat) dan dalam masalah mu’amalat dasarnya adalah ta’lil.( bisa dicerna dengan akal dan bisa dicari alasannya, seperti jual beli dan pernikahaan ) ”

Masalah safar wanita termasuk dalam katagori mu’amalat, sehingga bisa kita cari alasan dan hikmahnya yaitu untuk menjaga keselamatan wanita itu sendiri dan ini bisa terwujud dengan adanya teman-teman wanita yang bisa dipercaya apalagi dalam jumlah yang banyak dan jalan dianggap aman. 

Dalil Kelima: Kaidah Fiqhiyah

“Hukum yang ditetapkan dengan ijtihad bisa berubah menurut perubahan waktu, keadaan, tempat dan perorangan.“

Berdasarkan kaidah di atas, sebagian ulama kontemporer seperti Syekh Abdurrozaq Afifi (Fatawa wa Rasail: 1/201) membolehkan seorang wanita bepergian sendiri atau bersama beberapa temannya yang bisa dipercaya dengan naik pesawat, diantar oleh mahramnya ketika pergi dan dijemput juga ketika datang.  Bahkan keadaan seperti ini jauh lebih aman dibanding jika seorang wanita berjalan sendiri di dalam kota, khususnya kota-kota besar.

Dalil Keenam: Kaidah Fiqhiyah.

“Apa-apa yang diharamkan karena dzatnya, tidaklah dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat, dan apa-apa yang diharamkan dengan tujuan menutup jalan (kemaksiatan), maka dibolehkan pada saat dibutuhkan “

Ketidakbolehan wanita melakukan safar tanpa mahram tujuannya untuk menutup jalan kemaksiatan dan bahaya baginya, maka hal itu menjadi dibolehkan manakala ada kebutuhan, khususnya jika ditemani dengan rombongan yang dipercaya dan keadaan jalan aman.

Pendapat yang Kuat:


Pendapat yang kuat bahwa mahram bukanlah syarat wajib haji bagi wanita muslimah berdasarkan hadist dan atsar di atas.Tetapi boleh bersama rombongan perempuan yang bisa dipercaya, khususnya jika keadaan aman.

Adapun hadist Ibnu Abbas yang mensyaratkan mahram, peristiwa tersebut bukan pada haji wajib, tetapi pada haji yang sunnah. Karena haji baru diwajibkan pada tahun 10 H, dimana Rasulullah pada waktu itu juga melaksanakan ibadah haji.

Walaupun demikian, diharapkan bagi wanita yang ingin melaksanakan haji dan umrah atau melakukan safar wajib lainnya, hendaknya bersama mahramnya, karena itu lebih terhindar dari fitnah dan marabahaya lainnya. Ini pada safar wajib, tentunya dalam safar mubah dan mustahab lebih ditekankan lagi. Tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu yang dibutuhkan sekali, kita bisa mengambil pendapat ulama yang membolehkan dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Dengan demikian Islam dipahami sebagai agama yang selalu menjaga kehormatan dan keselamatan wanita, sekaligus memberikan solusi-solusi yang bisa dipertanggung jawabkan baik secara agama maupun secara sosial disaat tidak ada pilihan lain. Wallahu a’lam.
Sumber:
http://ahmadzain.com/read/ilmu/417/hukum-safar-wanita/