KOMPASnia-tentang“Rahib dan Lelaki yang telah Membunuh 99 Jiwa”:
Lelaki itu menyipitkan mata diterjang
terik. Kakinya tersaruk seok dalam sengatan pasir. Dia datang dari jauh
memikul beban hati yang memayahkan. Perjalanannya melelahkan. Tapi biara
yang ditujunya tak jauh lagi. Jalan agak mendaki kini, tapi sekuncup
harap telah bersemi di hati.Di pintu biara, Rahib ahli ‘ibadah itu menyambutnya dengan wajah datar. Lisannya terus berkomat-kamit. Rahib itu masuk sebentar dan keluar dengan dua gelas logam di tangannya. Dia letakkan satu di hadapan si lelaki, dan gelas lain dia genggam dengan dua tangan. Di hirupnya dalam-dalam aroma yang menguar bersama asap.
“Rahib yang suci”, kata si lelaki. Dia berhenti sejenak lalu mengunjal nafasnya panjang-panjang. “Mungkinkah dosaku diampuni?”
Rahib itu tersenyum setengah menyeringai. “Memangnya apa khilafmu?”
Agak tercekat dia menjawab. “Aku telah membunuh”, katanya, “Sebanyak sembilanpuluh sembilan jiwa.”Hampir saja gelas di tangan sang Rahib jatuh. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.
“Mungkinkah dosaku diampuni?” lanjut silelaki sambil menatap harap-harap. Tangannya cemas menggariki permukaan gelas logam. Dia lalu menunduk menanti sabda.
Tetapi Rahib itu memalingkan muka. Rautnya tampak tak suka. Lelaki itu menangkap mimik jijik di garis-garis wajah sang Rahib. Sayup dia menggumamkan sebuah ayat dalam Taurat. “Membunuh satu jiwa sama artinya membinasakan seluruh jiwa, memusnahkan segala kehidupan. Sembilan puluh sembilan.. Sungguh dosa yang tak terperikan. Tak terampunkan.”
Entah mengapa si lelaki pembunuh tiba-tiba disergap benci yang bergulung-gulung pada si Rahib. Batinnya yang luka dan tersiksa oleh dosa serasa disiram cuka yang memedihkan mendengar gumam itu. Cara Rahib itu memperlakukannya, bersikap, berkata-kata, dan menjawab tanya seolah mereka dibatasi dinding tak tertembus. Si Rahib suci. Tanpa dosa. Dan dia adalah lelaki hina, najis, tak terampuni.Sekuncup harap yang tadi bersemi, kini gugur disengat api.
Maka sekali lagi syaithan mengalahkannya. Dalam detikan saja, pedangnya telah memenggal si Rahib, membelahnya jadi dua. Dan dia disergapsesal yang jauh lebih menyakitkan. Genap sudah seratus nyawa. Darah sangRahib yang mengalir merah terlihat bagai neraka menyala, siap membakarnya. Dia bergidik. Dia beringsut mundur. Nafasnya tersengal, jangganya terasa tercekik hebat, keringat dinginnya merembesi baju. Dengan tenaga yang dihimpun sepicak-sepicak, dia berlari. Terus berlari.
Untuk beberapa waktu, dia bersembunyi.Tapi dia tahu, yang dia takuti bukan apa yang ada di luar sana. Yang paling menakutkannya ada di dalam dada. Tak tampak. Tak pernah membiarkannya nyenyak. Tak pernah mengizinkannya hening.
Satu hari dia tak tahan lagi. Diberanikannya menemui orang yang dianggapnya mampu memberi jawab gelisah hatinya. Kali ini bukan rahib yang dipilihnya. Kali ini seorang ‘alim yang didatanginya. Dan lelaki berilmu itu menerimanya dengan senyum tulus.
“Allah itu Maha Pengampun saudaraku”, ujar sang ‘alim ramah. “Taubatmu pasti diterima. Hanya saja, selain menyesali segala yang telah berlalu dan menebusnya dengan kebaikan-kebaikan,engkau juga harus meninggalkan negeri yang selama ini kau tinggali. Pergilah ke negeri lain untuk memulai hidupmu yangbaru. Engkau harus berhijrah.”
Lelaki pembunuh itu, kita tahu, benar-benar berhijrah. Tapi dia mati di perjalanan. Dan malaikat rahmatpun memenangkan perdebatannya dengan malaikat ‘adzab. Sebab ketika diukur jaraknya, lelaki itu sejengkal lebih dekat ke arah negeri pertaubatannya. Dia benar-benar telah meninggalkan kejahatan, meski baru sejengkal. Maka Allah memerintahkan agar dia dibawa kesurga...
ALLAH itu Maha (berulang-ulang) Menerima Taubat karena kita juga sebagai manusia (berulang-ulang) melakukan dosa..
Bacaan Berikutnya :
- Hari Idul Adha Tidak Harus Sama dengan Arab
- 7 Golongan Yang Dilindungi Oleh Allah SWT Dari Panas Matahari di Padang Mahsyar
- Jumlah Muslim Meningkat, Inilah Toko Halal Pertama di Alaska
- Nasib Orang yang Tidak Membayar Zakat di Akhirat
http://kompasnia.blogspot.com
Post Comment