HM Aru Syeiff Assadullah
Pemred Tabloid Suara Islam
Bagi tiap-tiap Muslim kedatangan bulan Ramadhan setiap tahun sekali adalah dambaan tak terkira. Perasaan suka-cita, kegembiraan yang melimpah bahkan kebahagiaan yang menyeruak di kalbu pun tak terbendung menyelimuti nurani, seorang Muslim. Terbayang ‘kelezatan’ syahru Ramadhan, bulan penuh ampunan. Terbayang amalan ibadah yang nikmat di Bulan Ramadhan, selain ibadah Shaumnya sendiri, Buka Puasa dan Sahur sepanjang satu bulan penuh, Shalat Tarawih, Itikaf 10 hari terakhir Ramadhan, dan puncaknya Hari Raya Lebaran. Dan tatkala Ramadhan menjelang Idul Fitri itu datang, umat Islam pun ‘menangis’, sedih berpisah dengan Ramadhan. Mereka pun berdoa, agar Allah Swt memberi usia panjang, agar bisa bertemu dengan Ramadhan tahun depan.
Kini bulan Sya’ban akan berakhir di ambang Ramadhan, namun sungguh menyedihkan kondisi umat Islam di Tanah Air Indonesia, mereka galau justru hari-hari semakin dekat memasuki bulan Ramadhan 1436 H ini/ 17 Juni 2015. Inilah fakta pahit yang menghadang umat Islam Indonesia.
Menjelang Ramadhan tahun lalu, bangsa Indonesia luar biasa sibuk, baru saja melaksanakan Pemilu dan Pilpres (Pemilihan Presiden). Tatkala Ramadhan baru dimulai, hasil Pilpres melalui quick qount hampir memastikan bahwa pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan memenangi Pilpres 2014. Pendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla, gegap-gempita menyambut kemenangan yang belum dipastikan itu. Sebaliknya pendukung Capres Prabowo Subianto-Hatta Radjasa, menyiratkan ketidak-percayaan kekalahan atas lawannya. Hasil akhir pengumuman KPU (Komisi Pemilihan Umum), akhirnya mencatat kekalahan Prabowo atas Joko Widodo, hanya berkisar lima persen saja, kekalahan tipis.
Yang jelas dengan kemenangan Joko Widodo dan diumumkan secara resmi pasca Lebaran 2014, telah memunculkan optimisme di kalangan pendukung Joko Widodo dan menyebar menjadi harapan besar bangsa Indonesia secara luas, bahwa rejim baru Presiden Joko akan segera mengubah keadaan. Indonesia segera menemui berbagai keberhasilan sebagaimana digaungkan dan dijanjikan Joko Widodo sepanjang kampanye Pilpres. Apa yang kemudian terjadi setelah rejim Presiden Joko memimpin, hingga hari-hari ini, sekitar lebih setengah tahun? Harapan besar rakyat Indonesia luruh hari demi hari, bahkan rontok berganti perasaan cemas di tengah kesulitan yang mendominasi kehidupan sehari-hari. Inilah suasana galau yang kini mengiringi umat Islam di Indonesia menjelang Ramadhan 2015 yang segera dimasuki.
Jika kita runut perjalanan pemerintahan Presiden Joko setengah tahun terakhir bisa dicatat, tidak ada kemajuan dan perubahan yang dijanjikan, tapi sebaliknya memunculkan kesulitan-kesulitan baru bahkan penderitaan baru bagi masyarakat. Warna dan irama yang dianut Presiden Joko kini mulai dicatat banyak pihak, ternyata mirip gaya pendahulunya--Susilo Bambang Yudhoyono--yang mengutamakan pencitraan. Lebih sekadar pencitraan malah berkesan ‘lucu-lucuan’ seperti keputusannya memilih Pansel (Panitia Seleksi) pimpinan KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) terdiri Sembilan perempuan yang dijuluki ‘Srikandi’ itu. Tanpa bermaksud menepis kemampuan dan prestasi perempuan yang memang bisa saja menjadi lebih berprestasi daripada kaum laki-laki, namun keputusan itu tetap berkesan, sengaja ‘mengejutkan’ masyarakat alias pencitraan. Ingat sebagai gubernur DKI Jakarta, Presiden Joko pernah mengangkat Susan Zulkifli, bekas tim suksesnya menjadi Lurah Wanita Lenteng Agung. Apa hasilnya? Hanya keributan panjang penduduk Lenteng Agung dipimpin seorang wanita yang beragama Nasrani, padahal penduduk Lenteng Agung hampir 100% beragama Islam. Prestasi Susan Nol.
Soalnya keputusan serupa dengan gaya yang serupa memang selalu dipilih Presiden Joko dan menuai kontroversi, kecaman, bahkan hasil yang justru membuktikan negatif, jauh dari harapan, dan kesan yang semula dianggap mengejutkan itu. Ambil contoh keputusannya memilih anggota kabinetnya yang semula dipuji--sementara lawannya--sebagai kabinet ‘santri’ karena sekitar 40% dianggap anak-anak santri, tapi kemudian komposisi kabinet ini membuat perpecahan internal di lingkungan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), khususnya PDIP pengusung utama Presiden Joko.
Rakyat sejatinya tidak peduli kisruh internal KIH itu, tapi kegaduhan itu menambahi kekacauan dengan spektrum yang meluas. Apalagi beberapa menteri pilihannya belakangan dianggap membuat suasana gaduh berkepanjangan, seperti Yasonna Laoly Menteri Hukum dan HAM yang sangat mencolok mengaduk-aduk internal Golkar dan PPP, juga Menpora Imam Nachrawi dengan geger PSSI. Kisruh ini mendorong desakan agar kabinet Presiden Joko dirombak atau direshuffle.
Tapi yang lebih krusial niscaya ‘prestasi’ kelabu pemerintahan Presiden Joko yang menyiratkan kapasitas sebagai pemimpin yang jauh dari kapasitas yang dibutuhkan. Pendukungnya semula berkeyakinan yang terpenting Presiden Joko itu seorang yang jujur, lugu, bersih, inilah yang paling dibutuhkan sebagai pemimpin Indonesia masa kini. Orang lupa pemimpin juga dibutuhkan yang berkemampuan, bahkan kalau perlu dibutuhkan kapasitas yang berlebih untuk menghadapi kondisi darurat. Modal yang penting ini tampaknya kini diketahui tak dimiliki Presiden Joko. Jika pada era sebelumnya Presiden SBY sangat disiplin hanya--mau--berpidato di depan mimbar berlogo lambang Negara--kendati berpidato di tengah hutan dan daerah terpencil--sebaliknya Presiden Joko tidak mewajibkan protokoler seperti itu. Dia ‘blusukan’ dan siap diwawancarai wartawan yang mencegatnya dan membuat pernyataan resmi hanya satu dua menit tanpa harus ada mimbar dan lambang kenegaraan. Apakah hal ini menyiratkan Presiden Joko lebih baik daripada Presiden SBY ?Ternyata tidak.
Yang jelas beberapa kebijakan drastis Presiden Joko bagai menoreh luka parah bagi rakyat dan berakibat panjang dan makin menenggelamkan rakyat dalam kesulitan. Tatkala Presiden Joko nekad--berlagak gagah-berani-- menaikkan BBM (Premium dan solar) sampai Rp 2000/liter, akibatnya membawa kesulitan rakyat yang susul-menyusul. Harga-harga barang melonjak selangit, diiringi berita di seluruh dunia semua negara menurunkan harga BBM karena memang harga minyak mentah turun hingga 40 dolar AS/barel yang membuat rakyat kecewa berat. Presiden Joko akhirnya menurunkan harga BBM kembali sampai dua kali, namun harga-harga yang sudah diancamnya harus segera diturunkan, ternyata tidak turun sedikitpun malah sebaliknya naik harganya. Rakyat meradang dalam kesulitan, inflasi melejit target pertumbuhan ekonomi pun diprediksi dan ditetapkan 5,7% ternyata merosot di bawah 5%, lalu ditetapkan target baru 5,4%, dan ketika itu, tiba-tiba harga beras melonjak harganya akibat pengumuman pemerintah kebijaksan Raskin (Beras Miskin) bagi 15 juta warga yang rutin dibagikan sejak era presiden-presiden Gus Dur dan SBY, akan segera dihapuskan.
Rencana penghapusan Raskin inilah yang memicu spekulan dan pedagang beras Kartel mengaduk-aduk pasar beras dengan manaikkan harga setinggi-tingginya. Presiden Joko mengancam tapi tetap saja harga beras tinggi. Operasi Bulog pun dilancarkan. Petani pun dirayu dengan pembagian traktor gratis, namun traktor itu oleh perusahaan yang diperintahkan membaginya ditarik kembali karena memang pemerintah belum membayar traktor yang dibagikan gratis. Harga beras tetap liar dan tinggi, terpaksa pemerintah menghibur beras niscaya akan turun ke harga normal setelah panen raya, tapi setelah panen raya ternyata beras harganya tetap tinggi berpatokan harga liar itu. Rakyat makin menjerit.
Fakta yang dialami petani sungguh menyedihkan, harga beras yang mahal di pasar tidak mereka nikmati, karena ongkos produksi berlipat-lipat naik sejalan harga pupuk pun naik dan langka di pasaran. Kisruh urusan beras pun menjelang Ramadhan ini menjadi-jadi dengan isu Beras Plastik, rakyat dibuat galau dan panik. Pedagang beras kacau-balau apalagi pedagang bubur, anjlok omzetnya.
Kesulitan rakyat makin bertambah karena diam-diam sejumlah tarif jasa dan barang kebutuhan rakyat yang utama, naik diam-diam, diikuti penerapan pajak yang luar biasa mencekik rakyat luas. Tarif listrik enak saja setiap bulan naik, tarif tol pun kini dikenai pajak PPN, karena terang-terangan pemerintah Joko memang telah menaikkan target perolehan pajak pertahun Rp200 trilyun dan diharapkan sampai 2019 kenaikan tambahan mencapai Rp1000 trilyun.
Pengamat ekonomi kritis mulai membandingkan penerapan pajak di era kolonialisme Belanda jauh lebih manusiawi dibandingkan era pemerintahan sekarang. Pajak bagi rakyat jelata dikenakan semena-mena sebaliknya bagi pengusaha raksasa, kemudahaan pajak diberikan berbentuk restitusi atau tax holiday dan semacamnya. Ekonomi negara sangat mengkhawatirkan, berjalan melambat. Index harga saham pun terus-menerus merosot, juga kurs nilai mata uang rupiah di mata dolar Amerika pun bertengger di atas Rp 13.000/dolar AS. Sungguh mengkhawatirkan kerja pemerintahan Presiden Joko bersama kabinet kerjanya yang terbukti tidak ‘becus’ mengurus minimal pun kerja dan kerjanya. Rakyat pun dibuat semakin risau tatkala Ramadhan semakin mendekati hari-hari mereka. Yang dilakukan Presiden Joko dengan ‘blusukan’ ke Pulau Sangihe dan ke Papua, di sana tiba-tiba membuat pencitraan dengan memberi hadiah grasi kepada penjahat-pejahat separatis, lalu mengumumkan segera membangun lintasan kereta api di Papua. Para pakar konstruksi pun terkaget-kaget dengan pengumuman tahun ini segera dimulai pembangunan rel kereta api di Papua. Kondisi alam Papua, dipastikan untuk membuat perencanaan dan riset saja dibutuhkan waktu lama, niscaya mustahil pembangunan rel kereta api dibangun tahun ini juga di sana. Presiden nekad berbohong demi pencitraan.
Yang pasti dirasakan umat Islam menjelang Ramadhan 2015 sebentar lagi, rasa galau mendominasi sanubari mereka. Pedagang ritel tiga bulan menjelang Ramadhan sudah mempersiapkan ‘penghadangan’ dengan mengeksplorasi Ramadhan dan Lebaran. Perhatikan saja halaman depan setiap supermarket dipersiapkan menumpuk barang-barang konsumsi yang niscaya akan diserbu umat Islam demi Ramadhan dan Lebaran. Di sinilah mereka dieksploitasi dan diperas habis-habisan. Yang di luar perhitungan niscaya, adalah : Bagaimana jika rakyat benar-benar tak memiliki apapun untuk belanja Ramadhan dan Lebaran kali ini ?
Para pengusaha dengan kejam tetap merasa yakin daya survive dan daya tahan rakyat Indonesia luar biasa tangguhnya. Di tengah kesulitan yang melilitnya itu, tapi demi Ramadhan mereka tetap akan menyambut Ramadhan, mereka tetap bisa berbelanja. Itulah politik Machiavellis para pedagang, mereka tetap akan memeras umat Islam, dan sungguh fatal umat Islam tak bisa menahan diri. Seharusnya di tengah kesulitannya yang sekarang dijadikan momentum menghentikan konsumsi Ramadhan dan Lebaran yang dilarang pula dalam ajaran Islam. Wallahua'lam bissawab. (http://www.suara-islam.com/)
Post Comment